ANAK INDONESIA, ANAK MILENIAL
Jaman dulu, sering banget mendengar kalimat saya orang jawa, saya orang Ambon, saya orang Cina, dst. Wajar saja. Urusan kesukuan ini masih dimaklumi karena ibu bapak rerata menikah dengan orang yang sesuku.
Tapi.... seiring pergeseran waktu dan jaman, semua perlahan berubah. Ada anak yang lahir dari Bapak yang orang Mandar, Ibunya Jawa, Bapaknya Padang ibunya Jawa, Bapaknya Bugis ibunya Padang, dan masih banyak lagi. Mulai timbul kegamangan saat harus menyebutkan saya orang apa. Walau secara hukum patriakal di negara kita, yang harus diikuti adalah garis bapak.
Dan kebingungan semakin bertambah, saat anak-anak di atas sudah menikah. lahirlah anak-anak dengan keterangan suku: bapak Jawa, ibu Jawa-Mandar. bapak Bugis, Ibu Jawa-Padang. Bapak Mandar-Jawa, ibu Bugis. Ribet banget kan kalo harus menjelaskan. Bisa panjang kali lebar plus ngabisin waktu saja. 😅😅
Memang lebih simple menjelaskan kalau saya orang Indonesia. Tapi selalu saja ada yang ngeyel pengen lebih jelas: Indonesia kan luas.
Untuk saya yang lahir dan dibesarkan dari ayah yang suku Mandar dan ibu Jawa, berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di papua, Bogor, Makassar. Bergaul dengan teman-teman dari aneka suku dan latar belakang yang berbeda, akhirnya masalah kesukuan tidak lagi menjadi masalah. Justru memperkaya wawasan dan cara berpikir karena banyaknya bergaul dengan mereka.
Meski tentu saja, ada saatnya harus berpikir sejenak saat harus mengisi formulir tentang suku. Harusnya memang mengisi suku Mandar, tapi honestly, untuk saya yang tidak dibesarkan dalam budaya suku Mandar, rasanya seperti membohongi diri sendiri. Hanya sedikit sekali budaya Mandar yang saya tahu. Masih sedikit lebih banyak budaya suku Jawa yang saya pahami. itupun karena belajar dan mencari sendiri. Literasi tentang suku Jawa memang jauh lebih mudah didapat dibanding suku Mandar.
Well, akhirnya saya dewasa dengan cara pikir yang lebih terbuka dan lebih menerima perbedaan-perbedaan yang ada di sekitar. Kejutan-kejutan budaya atau shock culture bisa lebih diminimalisir.
Tapi.... setelah menikah,dengan suami yang berlatar belakang suku bugis, saya masih sering terkaget-kaget. Saat mengajari si baby bicara atau memanggilnya dengan sapaan mbak, Mas Suami langsung protes dan bilang "Anakku orang Bugis". Saat saya menggendong baby menggunakan jarik (kain batik panjang) ala orang Jawa, Mas Suami langsung bilang, "Anakku orang Bugis, bukan orang Jawa "
Tanggapan saya? Awalnya kaget, nggak nyangka dengan reaksi kayak gitu. Sukuisme banget, batin saya. Tapi setelah itu saya cuma tertawa berusaha maklum dan menjawab gini, "Masa anak saya harus digendong pake sarung Bugis?" 😄😄😄😄
Percakapan hari itu tidak menemukan penyelesaian. Ngambang. Seperti kelapa tua yang terjatuh di aliran sungai. Ngambang dan ngalir gitu saja ngikuti aliran air, menuju ke laut lepas, tapi tidak ada penyelesaiannya.
Lama saya berpikir setelah itu. Saya stay di Mamuju, sementara Mas Suami di Makassar. Long distance relationship kayak gini agak menyusahkan untuk membagi peran dalam mengajari anak tentang budaya masing-masing. Saya tidak terlalu paham budaya Mandar-Jawa, sementara untuk menjelaskan budaya Bugis saya lebih tidak paham lagi. Harusnya itu tugas Mas Suami, tapi gimana caranya kalo LDR-an kayak gini? 😂😂
So, akhirnya saya memilih untuk mengambil poin-poin kebaikan saja untuk diajarkan. Kebaikan suku Mandar Jawa yang saya tahu, dan kebaikan secara umum suku Bugis yang saya tahu. Selebihnya dipelajari sambil jalan saja. Saya fokus menanamkan kebanggaan dan rasa percaya diri yang besar pada anak, bahwa mereka adalah anak-anak istimewa yang lahir dan dibesarkan dari orangtua yang berbeda suku di abad milenial ini. Yang tidak perlu sombong dengan labeling suku-sukuan. Yang tidak perlu mengkotak-kotakkan diri dengan label suku-sukuan, tapi bangga karena menjadi bagian dari semua itu. Suku-suku yang berbeda-beda.
Mamuju, 22 September 2020