Minggu, 23 September 2018

Wisata Kota Tua Jakarta (1)

Minggu, 24 September 2018

2 mingguan ini aku di Jakarta. Sebenarnya kegiatan utamanya ngikutin diklat, tapi sidejob untuk kaki panjang keliling kota kudu harus jalan lah ya. Even beberapa tempat sudah pernah aku kunjungi, tapi gapapalah ngulang kembali. Itung-itung nostalgia di Batavia. Yaelah....


Aku mo cerita tentang Wisata Kota Tua nih. Sejak masih di Mamuju, sering browsing apa lagi sih tempat yang asyik di Jakarta dan belum aku datangi. Ada 2 yang masuk prioritas. Pertama, Museum MACAN (Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara). Kedua, Wisata Kota Tua.

Sampe Jakarta aku harus menerima kenyataan kalo Museum Macan lagi off sampe tanggal 17 November karena ada renovasi. Yo wes lah.... Aku ke Kota Tua saja.

Apa sih yang menarik di Kota Tua? Apa yang membedakan dengan wisata lain di Jakarta?

Pertama, masuknya gratis dan lokasinya mudah di akses karena di tengah kota. Kalo naek kereta turunnya di Stasiun Kota dan tinggal nyeberang jalan kaki saja. Aku nggak tau rute kalo naek Trans Jakarta, karena kemana-mana milih naik kereta. Lebih nyaman, nggak kena macet, dan murah. Untuk perbandingan nih ya, naek GoJek dari daerah Jalan Taman Makam Pahlawan Kalibata sekitar 50 ribuan. Bonusnya capek duduk dan macet. Kalo naek kereta dari Stasiun Kalibata ke Stasiun Kota cuma 3000 rupiah. Lumayan menghemat kan untuk yang backpackeran. Naek Trans Jakarta juga murah kok. Yang penting rajin nanya-nanya jalur saja. Nggak usah malu, karena warga Jakarta sendiri banyak nggak hafal jalur-jalur transportasi umum.

Kedua, banyak musiumnya. Ada Museum Fatahillah, Museum Wayang, Museum Bank Indonesia. Gratis dan buka hanya sampe jam 4 ya. 

Ketiga, arsitektur bangunannya yang kuno keren banget untuk foto-fotoan. Tapi sebaiknya jangan datang saat hari libur atau weekend. Crowded luar biasa. Bikin males lihat banyaknya orang. Spot foto juga terbatas karena kiri kanan depan belakang penuh orang.

Keempat, kalo mau nongkrong ngopi ada beberapa kafe asyik. yang besar ada Kafe Batavia. Disain interiornya lumayan keren. View depannya banyak dijadiin background foto-fotoan.

Kelima, ada sepeda-sepeda jadul yang disewakan dan bisa kamu pakai keliling-keliling kota tua. satu jam .... lengkap dengan topi warna warni ala noni-noni Belanda. Trus ada juga beberapa orang dengan dandanan lucu dan atraksi menarik seperti yang banyak ditemui di Jalan Asia Afrila Bandung. Bisa foto-fotoan dan ngasih tips seikhlasnya.


Keenam, ada live musik dari para seniman yang biasa nongkrog disitu. Kalo pede dengan suara sendiri, boleh kok minta diiringi nyanyi satu dua lagu.

Ketujuh, disana banyak ngumpul para seniman dan komunitas. Orangnya lumayan ramah-ramah dan welcome. Jadi kalo kamu suka ngobrol dan kongkow ngabisin waktu, bisa tuh ngobrol saja sama mereka. Santai. Bisa sambil selonjoran di pinggir jalan. Dan mereka akan banyak cerita tentang sejarah Kota Tua yang akhirnya jadi salah satu destinasi wisata.

Nah itu dia keunikan Kota Tua. Sayangnya kalo siang atau sore lumayan panas karena di bagian tengah nggak ada pohon-pohon besar. Menurut Mas Ballon, seniman kafe yang nyambi jualan benda-benda dari goni di Kota Tua, dulunya wilayah situ lumayan hijau. Di pinggir-pinggir jalan masih ada pohon besar dan pohon-pohon kelapa, Sayangnya setelah ditata dan direnovasi, pohok-pohon iti juga ditebangin. Jalannya di paving semua. Aku yang pecinta kehijauan hanya bolak balik nyeselin pohon-pohon yang hilang. Ngebandingin dengan Singapore yang tetap mempertahankan pohon-pohon tuanya dengan memasang penopang besi kiri kanan supaya tidak roboh.Sayang yaa....

Fasilitas lainnya yang tidak terurus adalah musholla dan toilet. Tempatnya dijadikan satu, sempit, dan jujur sangat tidak nyaman kalo sholat disitu.Ada sedikit rasa jijik dan tidak yakin dengan kebersihan disitu.  Kalo masuk jam sholat, kita harus ngantri, trus saat keluar dari empat wanita, harus melewati lorong sempit tempat pada cowok yang habis wudhu berdiri ngantri mau masuk sholat. Haduuuh..... harus jadi perhatian khusus pengelola nih. 

(foto-foto nyusul ya....)

Jumat, 25 Mei 2018

Lombok 1 : Desa Sukarara, Desa Sade, Pantai Kuta Mandalika, dan Desa Banyu Mulek

LOMBOK TRIP

Akhir April punya rencana seru lagi untuk nge-trip ke Lombok. Rencana awal Mei. Jadi jauh-jauh hari sudah survey dari google tempat-tempat mana saja yang asyik dikunjungi, nggak panas, dan bisa dipake foto-fotoan. Entah ya, walau Lombok memang terkenal dengan panorama pantainya, tapi on schedule aku malah malas jalan ke pantai. Cuma satu aja yang rencana bakal dikunjungi sebagai syarat sah kalo sudah sampe di Lombok. Pantai Kuta. Namanya sama dengan yang di Bali, jadi penasaran situasinya gimana ya kalo Kuta Lombok?

Info yang aku dapat sih Lombok memang relative lebih sepi dibanding Bali. Makanya kalo pengen nyantai-nyantai saja, dua-duaan saja, bermalas-malasan saja, para ekspatriat yang berusia matang dan mapan konon lebih suka ke Lombok daripada ke Bali. Whatever lah. Yang jelas ini trip pertama dan rundownku lebih banyak ke arah gunung, yang nggak pake mendaki ya, dan air terjun. Hayuklah kita coba lihat gimana hasil trip kali ini….

Tapi ternyata..... beberapa hari sebelum hari H, schedule dirombak total. Gegara ada masukan untuk ke Gili Trawangan. Karena ada pameo belom ke Lombok kalo belom ke Gili Trawangan. Yasudlah.... sebagai perempuan baik hati dan tidak sombong, aku hayuk aja. Walau akhirnya berubah semua itt yang sudah aku buat jauh-jauh hari sebelumnya.

Kamis tanggal 3 Mei aku sudah berangkat dengan pesawat siang dari Mamuju. Karena besok flight Makassar to Lombok jam 6 am. Nggak ada pesawat yang connect dari Mamuju kalo berangkat jam segitu.

Mamuju- Makassar aku naik Lion dengan harga tiket Rp, 469.856.

Hari 1, Jumat tanggal 4 Mei 2018

Dari Makassar flight by Lion jam enam pagi. Dari kemaren aku sudah tiba di Makassar berhubung pesawat connected dari Mamuju nggak ada yang jam segitu.Seperti biasa pake pesawat pergi paling pagi dan pulangnya paling terakhir supaya 3 hari 2 malam ini puas jalan-jalan di Lombok.

Flight schedule :
Berangkat : 4 Mei 2018 Lion jam 6 am, transit 1.5 jam di Denpasar, tiba 9.25 am di Lombok.
Balik : 6 Mei 2018 Garuda jam 6.45 pm tiba Makassar 8 pm

Rencana perginya ber-4. Nyampe di bandara jam 5 lewat, salah satu peserta trip belom muncul. Aku yang paling gelisah karena tidak terbiasa check in mepet-mepet kalo mau naek pesawat gini. Tunggu 20 menit nggak datang, aku ngajak semuanya masuk. Ntar yang terlambat biar check in sendiri. Tapii.... yang aku khawatirkan terjadi juga. Telatnya dah kebangetan. Kami bertiga sudah naik bus menuju pesawat, eeh... Leli baru mo check in. Ya jelas terlambatlah.... Akhirnya dia nekat nyusul dengan flight langsung Makassar-Lombok jam 2 siang nanti. Yasudlah....

Transit di Bali 1,5 jam dimanfaatin untuk apalgi kalo bukan foto-fotoan. Cuma entah mengapa aku nggak senarsis biasanya. Agak males. Mungkin karena efek bangun yang sangat subuh tadi waktu di Makassar, trus tidur cuma sesaat di pesawat. Pengennya sih tidur di kasur yang empuk....





Tiba di Lombok dijemput Bli Wayan. Driver andalan yang nemenin perjalanan kali ini lagi-lagi rekomendasi dari Bli Putu Bali, teman lawas yang kerja di travel dan sudah sering jadi langganan kalo aku ke Bali. Waktu komunikasi di telpon masalah harga sewa mobil dan rute perjalanan, orangnya lumayan ramah. Setelah ketemu ternyata nggak beda jauh saat di telepon. Ramah dan sumringah. Syarat utama menjadi good guide dan driver di Lombok.

Tujuan hari ini :
  1. Desa Sukarara
  2. Desa Sade, kampung tradisional Suku Sasak
  3. Pantai Kuta Mandalika
  4. Desa Banyu Mulek
Berhubung semuanya diatur sendiri, jadi banyak-banyak diskusi dengan Pak Wayan masalah tujuan supaya mobil nggak bolak balik. Dari Bandara singgah makan dulu di sebuah warung kecil pinggir jalan karena saya pengen banget nyobain Babalung. Babalung ini iga sapi yang dimasak dengan bumbu tradisional yang agak bening. Rasanya segar dan gurih. Saya teringat rasa Kaledo dari Palu. Rasanya mirip-mirip. Sayangnya tiga kali nyobain babalung, tiga-tiganya punya rasa dan penampilan yang berbeda. Yang kedua dan ketiga lebih kental kualnya. Saya lebih suka yang pertama. Setelah balik Mamuju, seorang teman yang pernah tinggal di Lombok ngasih tau, bahwa ternyata ada 2 varian babalung, yang kuahnya encer dan kuahnya kental. Oalaah....... pantes saja.


1. Desa Sukarara


Habis makan langsung cuss ke Desa Sukarara.  Sepanjang jalan dari bandara, tempat makan dan Desa Sukarara suasananya biasa saja. Malah kami iseng bercanda kalo nuansanya seperti perjalanan dari bandara ke Kota Maros. Agak gersang dan tidak banyak pohon atau baligho selamat datang yang mencerminkan kami memasuki daerah wisata seperti di Bali.

Desa Sukarara adalah desa tempat pengrajin tenun Lombok. Dikelola oleh koperasi. Hasil tenunan dari kelompok penenun ditampung di kopearsi, termasuk juga tas, baju, sarung berbahan tenun Lombok.

Saat memasuki halaman, kami disambut oleh seorang Ibu yang akan menjadi guide. Ia menjelaskan sedikit tentang tenun Lombok. Selebihnya kami lebih banyak foto-fotoan. 

Oiya, disitu boleh lho nyobain baju dan kain tenin untuk foto-fotoan. Biayanya seikhlasnya saja, sudah include dengan tips yang diberikan untuk guide. Tentu saja aku tidak ingin melepas momen ini.

Saat kali foto-fotoan, suasananya lumayan rame. Karena bertepatan dengan Sail Komodo, acara para tentara AL yang dipusatkan di Lombok. Diantara para tamu banyak bersliweran anak-anak muda bertubuh tegap dari Jepang. Lucunya mereka pemalu sekali. Saat aku berpose ala gadis Lombok, mereka berebut untuk take a pict dari segala penjuru. Berasa model eeh.... Tapi satupun nggak ada yang ngajak foto bareng. :)

Yang lebih lucu lagi, Ibu guide yang nemenin kami menawarkan untuk jadi fotografer. Aku segera menyerahkan HPku. Dan setelah jeprat jepret cukup lama dengan segala suasana, masya allah..... hasilnya lebih banyak yang kacau daripada yang bagus. Aku ngakak waktu Fidya ngomel-ngomel lihat hasil foto-fotonya. Cuma aku nggak tega mau share disini. Ntar tambah banyak yang ngetawain. Hahahaha....









2. Desa Sade

Desa sade adalah Desa Adat Suku Sasak, suku asli Lombok. Berbeda dengan Bali yang mayoritas penduduknya pemeluk Hindu, di Lombok mayoritas adalah muslim.

Rumah tradisional Suku Sasak ini terbagi dua, bagian depan, dan bagian belakang dengan posisi yang lebih tinggi. Bagian depan digunakan untuk ruang tamu dan kamar tidur orang tua dan anak lelaki. Bagian belakang untuk dapur dan kamar tidur anak perempuan. Melihat ukurannya yang relatif kecil, aku jadi berpikir bagaimana dengan keluarga yang memiliki anak banyak ya? Bagaimana orang tua menyalurkan hasrat biologisnya dengan kondisi rumah yang seperti itu? Sampai pulang pertanyaanku tidak terjawab.

Yang unik dari rumah ini adalah lantainya terbuat dari tanah liat dan tetap dipertahankan sampai sekarang. Supaya tanah liatnya tidak pecah-pecah, seminggu sekali dibaluri dengan kotoran sapi yang masih segar!! Bau dong... ternyata tidak tuh. Saya sempat masuk ke dalam salah satu rumah, ternyata tidak ada bau kotoran sapi sama sekali. Hanya saja untuk melaksanakan sholat warga disitu melaksanakan di masjid yang ada di sudut desa.

Satu lagi yang unik, penduduk Desa Sade tidak mau menggunakan gas karena takut meledak dan takut kebakaran. Karena atap-atap rumah yang terbuat dari ilalang mudah terbakar. Mereka lebih memilih menggunakan kayu bakar dan kompor biasa. Konon, asap dari hasil pembakaran kayu membuat dinding dan atap dapur lebih kuat dan tahan lama. Bisa jadi karena tidak ada rayap yang betah tinggal di antara atap dan tembok yang terbuat dari kayu dan bambu.


Lumbung padi yang digunakan untuk menyimpan padi.



Ruang tamu merangkap ruang tidur Orang tua dan anak lelaki.
Di belakang saya itu dapur dan kamar anak perempuan.



Pohon kering yang perlahan dimakan waktu di belakang saya itu disebut sebagai pohon cinta. Sebagai simbol dari cinta dan kesetiaan kepada pasangannya. Cinta selalu meninggalkan jejaknya dimana saja....



Nenek pemintal benang yang berfoto dengan saya ini sudah berusia 90 tahun. Kulitnya relatif masih terlihat kencang, dan giginya masih banya yang tersisa. menurut Bapak Fani, guide kami sekaligus cucu si nenek, hal itu disebabkan karena Nenek rajin mengunyak pinang. Memang, terselip warna merah diantara gigi dan bibir Nenek. Beliau yang tidak bisa berbahasa Indonesia sempat menawarkan pinang kalau saja saya mau mencoba. Saya hanya tertawa dan menolak dengan sopan. Puluhan tahun lalu, sewaktu masih kelas 2 SMP, saya pernah mencoba mengunyah pinang sirih dan kapur bersama teman-teman saat berlibur di Serui Papua. Dan ternyata kalau tidak terbiasa, pinang bisa bikin mabuk. Saya ingat waktu itu berjalan dengan mata yang penuh bintang-bintang. Sampai di rumah saya dimarahi mama.

Mesraaaaa....


3. Pantai Kuta

Pantai Kuta ini lokasinya di Mataram. Kenapa aku masukin itt hari pertama? Karena takutnya hari ke-2 dan ke-3 nggak sempat kesini lagi. Rugi kan kalo nggak sempat ke Kuta padahal lokasinya seputaran Mataram juga.

Pantai Kuta Madalika relatif sepi. Saat tiba dan berjalan memasuki area pantai, aku disambut okeh ibu-ibu yang menawarkan souvenir. Ada topi, gelang, dompet, kaos, gantungan kunci. Kalo pintar nawar bisa dapat harga yang sangat miring. Mending beli oleh-oleh disini daripada ke toko oleh-oleh. Harganya bisa beda jauh.

Selain penjual souvenir, aku juga disambut oleh anak-anak kecil berkulit kehitaman yang melambangkan mereka anak pantai yang sering bermain disini. Mbak mau nggak saya fotoin, kata mereka. Pakai apa? tanyaku. Pakai HPnya mbak. Nanti hasilnya bagus. Mbak bisa bergaya terbang, dorong gunung, ngangkat gunung, macam-macam mbak.

Driver kami Pak Wayan memang sudah bercerita tentang anak-anak ini. Konon hasil fotonya bagus-bagus. Aku jadi penasaran. Bayarnya berapa? tanyaku. Seikhlasnya saja mbak. OK, saya mau kalian bertiga nemenin saya ya. Aku menunjuk 3 bocah yang matanya bercahaya dan tampak antusias. Aku memberikan HP pada mereka. Mereka mulai perintah-perintah, mengarahkan aku untuk bergaya bak fotografer profesional dan modelnya. Geli juga jadinya.

Setelah beberapa kali lompat-lompat, ganti gaya, aku penasaran ingin lihat. Dan ternyata wow banget. Foto saya melompat terlihat tinggi dan melayang jauh di atas pulau-pulau. Hebat juga ini anak-anak. Ada juga aku disuruh lari-lari, trus nanti efeknya kayak Sahrukh Khan. Ternyata yang dimaksud adalah efek slow motion saat lari. Hahahaha..... 

Akhirnya aku yang belajar dari mereka, mempelajari menu-menu kamera dari HP milik sendiri yang nggak pernah dibuka-buka. Emak-emak gaptek euiy...

Mereka penasaran dengan HP ku yang kata mereka bagus. Pasti HP mbaknya mahal ya, mereka menuntut jawaban dengan tatapan mata yang penasaran. Aku hanya tertawa. Ah tidak, jawabku. Murah kok. Cuma 1 jutaan. 

Ah bohooong.... mereka menatapku dengan tatapan tak percaya. Nggak boleh bohong lho mbak, dosa, nggak baek! Huahahaha.... aku langsung ngakak. Teringat kakak dan adek di rumah yang sering ngomong gitu. Ngikutin gaya di film Alhamdulillah Sah. Ah... anak-anak ini memang cerdas-cerdas.

Aku sempat bertanya, kok bisa hasil fotonya bagus-bagus semua? Dengan percaya diri salah satu dari mereka bilang gini : saya kan profesional. Ulala.....  I love your style kid. 

Mereka kelas 4 dan kelas 5 SD. Ada yang sekolah di pesantren, ada juga di sekolah biasa. Mereka sering bermain ke pantai setiap pulang sekolah dan di hari-hari libur. Saat ramai pengunjung mereka bisa dapat 200 sampai 500 ribu rupiah. Lumayan kan? Sebelumnya mereka menjual souvenir gelang-gelang. Aku hanya berdoa semoga mereka aman-aman saja dan tidak menjadi obyek orang gila penyuka anak kecil yang banyak terdengar beritanya. Apalagi di tempat banyak orang datang dan pergi seperti di Kuta Mandalika ini.  

Sehat selalu rajin belajar ya Nak. Supaya impian kalian menjadi fotografer profesional bisa terwujud. Semoga lain waktu bisa ketemu lagi.


Trio Ceriwis. Sang fotografer profesional Pantai Kuta Mandalika









4. Desa Banyu Mulek

Desa Banyu Mulek adalah pusat pembuatan gerabah dari tanah liat. Kami sempat singgah di salah satu showroomnya yang terbesar. Sayangnya sudah kemalaman, capek dan hampir tutup. Jadi kegiatan nanya-nanya dan foto-fotoan hasilnya kurang maksimal.
















Selasa, 24 April 2018

Mamuju : Air Terjun Tamasapi

22 April 2018

Sejak 2 minggu lalu pengen banget explore Mamuju. Dah jalan-jalan keliling, tapi di Mamuju sendiri setelah tinggal belasan tahun malah nggak pernah kemana-mana.

So, setelah bergerilya ngajakin dan ngomporin teman-teman kantor, terkumpul juga 10 orang yang memang suka jalan-jalan. Ada teman yang ngajak istrinya juga. Pokoknya judulnya seru-seruan lah.

Hari Minggu, jam 6 pagi saya sudah keluar rumah. Tujuannya nyari penjual nasi kuning untuk bekal. Kalo air mineral dan teh kotak sudah ada di kantor. Beli kue-kuean juga. Kenapa nggak pake acara masak-masakan?

Pertama, ribet. Kalo harus jalan kaki lumayan jauh nggak mungkinlah nenteng-nenteng bekal banyak-banyak. Jadi beli aja trus ntar disuruh bawa bekalnya masing-masing. Jadi nggak saling ngerepotin.

Kedua, jangan mengharapkan saya untuk disuruh masak dan nyiapin bekal. Bukan gw banget iih….

Setelah bekal lengkap (ntar tinggal disinggahin kalo mau berangkat), aku balik rumah lagi ganti kostum dan bawa backpack. Tujuan hari ini Air Terjun Tamassapi.

Air terjun Tamasapi lokasinya nggak terlalu jauh dari kota. Cuma butuh berkendara sekitar 15 menit ke arah luar kota, Kali Mamuju, trus jalan kaki satu kilometer selama kurang lebih 20 sampai 30 menit. Jalannya nggak terlalu susah. Cuma agak menuun, datar dikit, trus naik lagi. Masih bisalah untuk rombongan emak-emak yang penuh semangat meski jarang olahraga.

Setelah melewati So’do di Kali Mamuju, kendaraan parkir saja di pinggir jalan beraspal. Tidak ada tukang parkir, jadi jangan lupa pake kunci leher untuk motor dan mengunci rapat semua pintu mobil. 

Dan.... mulailah perjalanan menuruni jalanan  berbatu-batu. Kalo dilihat sebenarnya pernah ada upaya pembuatan jalan setapak yang disemen. Tapi sudah mulai hancur. Karena jalanan yang kami lewati ini menjadi tempat air mengalir kalo musim hujan tiba. Secara Mamuju adalah kawasan yang memiliki curah hujan cukup tinggi. Dengan kawasan hutan lindungnya yang luas, Mamuju menjadi penyangga oksigen Indonesia. Saat daerah lain mulai kering dan tanahnya terbelah retak-retak karena musim kemarau, Mamuju masih sering diguyur hujan.






Balik lagi ke my trip my adventure ya. Setelah jalan sekitar 15 menit, jalanan mulai rata lagi. Kami bertemu dua air terjun pertama di pinggir jalan. Sebenarnya hanya   air terjun kecil. Airnya mengalir di atas batu-batu yang membentuk dinding alam dan sangat keren. Teman-teman langsung aja pada gifo berhenti foto-fotoan sambil tarik nafas dikit. Habis itu lanjut jalan lagi.





Air terjun kedua di pinggir jalan.


Setelah mendaki lagi, kami bertemu dengan seorang bapak tua yang kami panggil Pua’ atau Bapak dalam bahasa Mandar Mamuju. Pua’ ini duduk di sebuah gubuk bamboo kecil dan menagih setiap pelintas disitu sebesar 2 ribu rupiah per orang. Tidak ada tiket retribusi resmi. But it’s ok lah. Kasihan saja melihat Pua’ yang lumayan berumur itu.


Bersama Pua'

Setelah membayar 20 ribu untuk 10 orang, kami berjalan sedikit lagi, dan tibalah di lokasi air terjun Tamassapi.


Di kejauhan itu kolam pengolahan air milik PDAM

Jujur saja, yang saya temui tidak sesuai ekspektasi. Disitu ada kolam air bagian dari instalasi penyaringan air milik PDAM yang mensuplai kebutuhan air warga Mamuju, trus naik lagi sedikit ada 3 bangunan, entah fungsinya apa, yang sangat kotor dengan lapisan lumpur dan tanah. Bangunan itu hanya ditembok sekitar 1 meter. Mau duduk-duduk juga nggak bisa. Mau naruh tas juga bingung karena basah dan lembab. Akhirnya ada yang menggantung tas di pagar besi, dan ada juga yang cuek digeletakin di atas tembok, termasuk saya. Dah itu mulailah sibuk foto-fotoan.


Gazebo yang lembab, kotor dan berlumpur.

Cuma ini sepotong area yang lumayan bersih dan bisa dipake duduk-duduk. Tapi.... puanaaaaasss poll.


Air terjun setinggi 30-an meter ini indah banget, airnya lumayan deras. Biasanya kalo habis hujan di gunung, debit air memang meningkat. Tapi harus lebih waspada karena kita nggak tahu bisa saja aliran air di atas membawa pohon-pohon yang tumbang dan jatuh ke bawah. Belom apa-apa saya sudah horror duluan.




Area kolam penampung air terjun yang lanjut mengalir ke sungai tidak terlalu besar. lokasinya memang tidak terlalu luas. Sungainya berbatu-batu dan ada pohon tumbang disitu.






Sayangnya, akses untuk sampai ke kolam di bawah air terjun dan mandi-mandi juga agak susah. Karena terhalang batu-batu besar berlumut yang licin. Saya nggak ikutan mandi-mandi. Airnya dingin banget dan arus airnya lumayan deras. Seandainya dibangun jembatan atau jalanan kecil yang agak melingkar pasti keren. Saya milih foto-fotoan saja. Tapi sayangnya, dengan kamera hp tidak bisa mengambil gambar terlalu dekat. Percikan air dan angin yang agak kencang bikin kamera basah terus.












Percikan air terjunnya yang deras dan angin yang lumayan kencang,
bikin hasil foto nggak maksimal.

Saya mulai paham kenapa air terjun Tamassapi ini tidak terlalu ramai dikunjungi. Fasilitas sarana prasarana untuk orang yang mau rekreasi memang belum ada. Toilet, tempat duduk-duduk istirahat, penjual makanan, bahkan tempat sampah juga tidak ada. Sampah-sampah plastik bawaan pengunjung hanya ditumpuk begitu saja di satu titik. Saya lihat mulai banyak. Entah siapa yang bertanggung jawab untuk membersihkan semua sampah-sampah ini.


Owwww...... tumpukan sampah yang merusak lingkungan dan pemandangan.

Setelah makan bekal nasi kuning, kami langsung pulang dan sempat singgah lagi di So’do Kali Mamuju. Kali ini saya ikutan berendam ala putri duyung di kali. Lengkap dengan sepatu dan kaos kaki. Dah gitu pulang basah-basahan. Lumayan seru acara jalan-jalan hari ini. Jalan-jalan sambil olahraga. Dan belom apa-apa sudah pada nanya minggu depan mau kemana lagi? 


See you another trip gaes...!


RACUN

4 Mei 2023 Pagi tadi ngobrol dengan seorang teman yang berkunjung di ruangan. Tentang perempuan, hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Ka...