Selasa, 22 September 2020

JALAN-JALAN KE RUMAH ADAT MAMUJU

Sebulan belakangan ini, hujan tiap hari. Sebenarnya wajar saja sih. Karena curah hujan di Mamuju cukup tinggi. Saat daerah lain di Indonesia kering kerontang, Mamuju masih menikmati hujan. Konon keadaan ini karena masih banyak hutan di Mamuju. Mamuju memang kawasan hujan lindung, penopang oksigen Indonesia. Tapi kondisi sekarang mulai berbeda. Sejak menjadi bagian dari Sulawesi Barat, pembangunan berlangsung sangat pesat. Wilayah Kota Mamuju juga sudah mulai padat merayap dengan bangunan-bangunan baru di tiap sudut kota. Sekarang sangat susah mencari lahan di dalam kota. kalaupun ada, harganya wow luar biasa. Di jalan jenderal Sudirman saja harga tanah sudah mencapai 7.5 juta per meter. 

Tapi bukan itu masalah utamanya. Yang jadi masalah adalah batas kawasan hutan lindung itu sendiri sudah menjadi area terbuka. Bahkan lokasi Kantor Gubernur Sulbar masih masuk kawasan hutan lindung. Padahal posisinya dalam kota lho. Termasuk juga Bandar Udara Tampa Padang di Kecamatan kalukku, sekitar 15 kilo dari kota Mamuju.

Well, untuk mengubah batas kawasan hutan lindung ini memang agak sulit. Karena langsung dari Pusat, bukan kewenangan Pemerintah Provinsi apalagi Kabupaten. Entahlah, sejauh ini aku juga tidak update bagaimana kelanjutannya.

Nah, kali ini aku sebenarnya pengen cerita tentang lokasi Rumah Adat (Rudat) Mamuju. Posisinya berada tepat di tengah kota Mamuju. Awal di bangun dulu lengkap dengan istana raja, dapur, bangunan-bangunan kecil tempat pembuatan perahu, pembuatan senjata, ada juga musium yang berisi benda-benda bersejarah milik Raja-raja Mamuju. Sayangnya kondisinya ya begitu-begitu saja. Baru mulai baik 3 tahun belakangan ini, saat Kadis Pariwisatanya Pak Usdi, mantan Kadis Kominfo boss aku dulu. Musium mulai diperbaiki, koleksi benda-benda pusaka semakin banyak karena Raja Mamuju secara sukarela menyerahkan benda-penda pusakanya untuk dipajang di musium, dan musium juga mulai dibuka untuk umum.

Di sore hari, lokasi Rumah adat juga sering dijadikan tempat latihan anak-anak muda. Berlatih musik, paduan suara, teater, hingga tari-tarian. Sudah ada juga kafe di sudut lokasi Rudat yang berbatasan dengan sungai. Namanya Kafe Nal. Konsepnya menyatu dengan suasana Rudat. Menjual kopi dan minuman-minuman lainnya, camilan pisang goreng, ubi dan roti bakar. Lumayan asyik untuk dipakai nongkrong dan ngobrol. Oiya, ada panggung juga untuk live music di waktu-waktu tertentu. Sayangnya aku bukan penikmat musik yang baik, apalagi kalo live music. Berisik. Aku lebih memilih kafe atau warkop yang tenang, supaya leluasa ngobrol tanpa teriak-teriak. 

So, kalo datang kesini, pilihanku sudah pasti di jam-jam sepi dan tanpa live music. Kafe juga baru mulai rame menjelang sore hari, saat orang pulang kantor, hingga malam. Apalagi di malam minggu. 

Apa sih yang menarik dari Kafe nal ini? Bangunan-bangunan non permanennya dibangun di antara pohon-pohon besar yang rindang. Daun-daun pohon yang menguning seringkali berguguran saat angin berhembus agak kencang. Suasananya asyik banget. Oiya, ada juga satu stand yang menjual lukisan dan melayani pesanan lukisan, juga stand yang menjual kain tenun sekomandi, kain tenun tradisional dari Kecamatan kalumpang. Next aku cerita khusus tentang kain tenun Sekomandi ini ya.

Setiap kali datang, aku selalu meluangkan waktu ke stand lukisan itu. Ada beberapa lukisan yang dilukis di atas potongan kayu lebar. Keren dan unik. Beberapa di antaranya dijadikan ornamen hiasan kafe juga. Temanya wajah orang-orang Kalumpang. Pelukisnya sendiri waktu aku tanya ternyata berasal dari Kalumpang. 

Jadi teringat Kampung Betawi di Ancol. Di bagian Pasar Seni juga ada pelukisnya, barang-barang yang nyeni dan suasana pohon-pohon besar yang teduh. Jadi pengen ke Ancol lagi....

Untuk harga minuman dan makanan di Kafe Nal, standar saja. Mulai 10 ribu sampe 25 ribuan. Rasanya juga standar. Jangan berharap akan muncul minuman dan camilan yang rasanya warbyazah disini. Pisang gorengnya juga kadang susah ditebak. Antara pisang mentah menjelang mateng, tapi matengnya karena diperam. Jadi rasanya ya gitulah. Pisang peppeknya juga biasa. Pisang peppek itu pisang kepok mentah yang digoreng, trus dipukul-pukul dikit, digoreng lagi. Makannya pake sambal mentah. Pokoknya standar semua. Asyiknya memang untuk ngobrol saja kalo kesini. WIFI juga ada, tapi jaringannya sering lemot. Kalo aku lebih suka pake jaringan internet dari hape saja.

Oiya, untuk masuk ke lokasi Rudat, bayaran per orang 3 ribu. Tapi kalo bukan jam-jam rame, biasanya petugas tiketnya nggak standby di depan. Jadi bisa lolos-lolos saja gratisan. Secara aku kan suka nyari yang gratisan gitu 😁😁😁

Mamuju, 22 September 2020





Senin, 21 September 2020

ANAK INDONESIA, ANAK MILENIAL

Jaman dulu, sering banget mendengar kalimat saya orang jawa, saya orang Ambon, saya orang Cina, dst. Wajar saja. Urusan kesukuan ini masih dimaklumi karena ibu bapak rerata menikah dengan orang yang sesuku.

Tapi.... seiring pergeseran waktu dan jaman, semua perlahan berubah. Ada anak yang lahir dari Bapak yang orang Mandar, Ibunya Jawa, Bapaknya Padang ibunya Jawa, Bapaknya Bugis ibunya Padang, dan masih banyak lagi. Mulai timbul kegamangan saat harus menyebutkan saya orang apa. Walau secara hukum patriakal di negara kita, yang harus diikuti adalah garis bapak. 

Dan kebingungan semakin bertambah, saat anak-anak di atas sudah menikah. lahirlah anak-anak dengan keterangan suku: bapak Jawa, ibu Jawa-Mandar. bapak Bugis, Ibu Jawa-Padang. Bapak Mandar-Jawa, ibu Bugis. Ribet banget kan kalo harus menjelaskan. Bisa panjang kali lebar plus ngabisin waktu saja. 😅😅

Memang lebih simple menjelaskan kalau saya orang Indonesia. Tapi selalu saja ada yang ngeyel pengen lebih jelas: Indonesia kan luas.

Untuk saya yang lahir dan dibesarkan dari ayah yang suku Mandar dan ibu Jawa, berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di papua, Bogor, Makassar. Bergaul dengan teman-teman dari aneka suku dan latar belakang yang berbeda, akhirnya masalah kesukuan tidak lagi menjadi masalah. Justru memperkaya wawasan dan cara berpikir karena banyaknya bergaul dengan mereka.

Meski tentu saja, ada saatnya harus berpikir sejenak saat harus mengisi formulir tentang suku. Harusnya memang mengisi suku Mandar, tapi honestly, untuk saya yang tidak dibesarkan dalam budaya suku Mandar, rasanya seperti membohongi diri sendiri. Hanya sedikit sekali budaya Mandar yang saya tahu. Masih sedikit lebih banyak budaya suku Jawa yang saya pahami. itupun karena belajar dan mencari sendiri. Literasi tentang suku Jawa memang jauh lebih mudah didapat dibanding suku Mandar.

Well, akhirnya saya dewasa dengan cara pikir yang lebih terbuka dan lebih menerima perbedaan-perbedaan yang ada di sekitar. Kejutan-kejutan budaya atau shock culture bisa lebih diminimalisir.

Tapi.... setelah menikah,dengan suami yang berlatar belakang suku bugis, saya masih sering terkaget-kaget. Saat mengajari si baby bicara atau memanggilnya dengan sapaan mbak, Mas Suami langsung protes dan bilang "Anakku orang Bugis". Saat saya menggendong baby menggunakan jarik (kain batik panjang) ala orang Jawa, Mas Suami langsung bilang, "Anakku orang Bugis, bukan orang Jawa "

Tanggapan saya? Awalnya kaget, nggak nyangka dengan reaksi kayak gitu. Sukuisme banget, batin saya. Tapi setelah itu saya cuma tertawa berusaha maklum dan menjawab gini, "Masa anak saya harus digendong pake sarung Bugis?" 😄😄😄😄

Percakapan hari itu tidak menemukan penyelesaian. Ngambang. Seperti kelapa tua yang terjatuh di aliran sungai. Ngambang dan ngalir gitu saja ngikuti aliran air, menuju ke laut lepas, tapi tidak ada penyelesaiannya. 

Lama saya berpikir setelah itu. Saya stay di Mamuju, sementara Mas Suami di Makassar. Long distance relationship kayak gini agak menyusahkan untuk membagi peran dalam mengajari anak tentang budaya masing-masing. Saya tidak terlalu paham budaya Mandar-Jawa, sementara untuk menjelaskan budaya Bugis saya lebih tidak paham lagi. Harusnya itu tugas Mas Suami, tapi gimana caranya kalo LDR-an kayak gini? 😂😂

So, akhirnya saya memilih untuk mengambil poin-poin kebaikan saja untuk diajarkan. Kebaikan suku Mandar Jawa yang saya tahu, dan kebaikan secara umum suku Bugis yang saya tahu. Selebihnya dipelajari sambil jalan saja. Saya fokus menanamkan kebanggaan dan rasa percaya diri yang besar pada anak, bahwa mereka adalah anak-anak istimewa yang lahir dan dibesarkan dari orangtua yang berbeda suku di abad milenial ini. Yang tidak perlu sombong dengan labeling suku-sukuan. Yang tidak perlu mengkotak-kotakkan diri dengan label suku-sukuan, tapi bangga karena menjadi bagian dari semua itu. Suku-suku yang berbeda-beda.

Mamuju, 22 September 2020
ADA DARMA, ADA KARMA

Setiap kebaikan akan mendapatkan balasan (karma). semakin besar kita melakukan kebaikan, semakin besar pula karma kebaikan yang akan kembali kepada kita. Darma dan Karma ini salah satu ajaran pada kitab Bhagavadgita dalam agama Hindu.

Dalam Islam sendiri pada Qur'an surah Az-Zalzalah ayat 7, Allah SWT berfirman mengenai KEBAIKAN yang walau hanya sebesar biji dzarrah (sawi) akan mendapatkan balasan.

Kita bisa belajar kebaikan dimana saja.

Mamuju, 22 September 2020


RACUN

4 Mei 2023 Pagi tadi ngobrol dengan seorang teman yang berkunjung di ruangan. Tentang perempuan, hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Ka...