Pagi itu, Jumat 12 April 2007, cuaca cerah. Matahari bersinar terang, cahayanya menghangatkan tubuhku saat aku berdiri di halaman rumah. Kupeluk rapat Farrel dalam gendonganku, dia merapatkan pipinya yang montok di pipiku. Lembut, harum, bayiku tercinta yang baru berusia 1,5 tahun ini selalu mampu memberikan kehangatan di hatiku, dalam suasana apapun.
Kuangkat tubuhnya yang montok, matanya menatapku ceria. Perutnya sudah kenyang, tubuhnya samar-samar mengeluarkan aroma minyak telon dan bedak bayi. Aroma yang sangat kusukai. Mulutnya berceloteh cerewet, badannya mulai meronta minta diturunkan dari gendongan. Suara burung-burung kecil yang melompat-lompat ramai di rerumputan langsung menarik perhatiannya. Aku menurunkan kakinya perlahan di rerumputan. Dengan cepat ia sudah menghambur ke arah kelompok burung-burung yang segera terbang melihat kedatangan Farrel.
Walau nampak kecewa karena tidak bisa menyentuh burung-burung itu, ia segera berlari-lari kecil menuju pinggir jalan raya.
"Adek....." aku berteriak dan segera mengejar bocah kecil bandel yang tertawa girang itu. Huff....menggemaskan!
Setelah tertangkap, kuangkat dan kugendong lagi. Badannya meronta -ronta menolak. Tapi aku tidak mau melepaskannya. Sambil mencium gemas pipinya, kubawa masuk ke dalam rumah.
Papaku menyambut di pintu masuk. Mengulurkan tangannya untuk menggendong Farrel.
"Tidak terlambat senam pagi?" Papa mengingatkan, aku sudah siap dengan baju olahragaku.
"Terlambat sih, Pa. Tapi masih bisa ngisi absen kok. Adek sama Opa dulu ya, Mami mau ke kantor dulu," kucium pipi Farrel sekali lagi dan masuk ke dalam rumah mencari Rivas, kakaknya yang asyik bermain dengan Oma. Anak sulungku ini memang sangat lengket dengan mamaku sejak lahir.
"Kakak, Mami ngantor dulu ya. Ma, berangkat dulu," kucium pipi Rivas dan mencium tangan Mamaku. Kebiasaan sejak kecil kalau mau meninggalkan rumah.
Rivas tertawa waktu kupencet hidungnya dengan sayang. Setelah itu kembali asyik dengan mainannya.
Aku tidak khawatir meninggalkan anak-anakku kalau mau pergi ke kantor. Walaupun di rumah ada Mada dan Mari, si kembar yang bertugas menjaga mereka, tapi anak-anakku lebih sering dengan Oma dan Opanya. Sejak Papa pensiun, cucu-cucunya yang tidak bisa diam itu betul-betul menjadi penghibur hati mereka.
Terkadang sore-sore, sehabis pulang kantor, aku mendengar suara tawa gembira Rivas dan Farrel di halaman samping. Dan saat aku mengintip keluar melalui jendela, ya ampun.....!! Pantas mereka terdengar girang sekali, walaupun Farrel baru belajar bicara satu dua kata. Ternyata Papaku menaikkan mereka di kereta dorong yang biasa dipakai untuk mengangkut semen dan bahan bangunan, dan mendorong kereta itu berputar-putar di halaman yang cukup luas. Kalau Papaku menaikkan kecepatannya, dua anak kecil itu langsung menjerit dan tertawa lebih keras lagi. Aku dan mamaku hanya bisa geleng-geleng kepala. Ada-ada saja upaya si Opa menyenangkan cucu-cucunya.
Setelah mandi sore, Papaku akan mengajak cucunya jalan-jalan keliling kota dengan mobil taft tuanya yang berwarna merah. Dulu mobil itu bercat hijau tentara, entah kenapa papa menggantinya dengan warna merah. Sewaktu adikku memakainya ke Ramsis, asrama mahasiswa, Unhas tempat tinggalnya, si merah mendapat nama baru dari anak-anak Ternate yang banyak tinggal disitu. Namanya Merah Galeter. Artinya Si Merah yang Kecentilan. Hahaha... Tapi papaku tetap pede memakai Taft tua itu kemanapun ia pergi.
Sepanjang jalan di Mamuju, orang-orang sudah hafal kalau melihat Merah Galeter berjalan pelan-pelan. Artinya, waktunya si Opa yang pensiunan tentara dengan ditemani Oma mengajak keliling cucunya. Rivas yang lebih besar dipangku Opa sambil nyetir, Farrel yang lebih kecil dan banyak gerak dipangku Oma. Kaca mobil yang transparan seperti akuarium membuat semua orang bisa melihat siapa saja penumpang si Merah Galeter. Terkadang di asrama Kodim Papaku berhenti dan mengobrol dengan penghuni asrama disitu yang masih dikenalnya. Isi obrolannya tidak lain dari membanggakan dua cucu kesayangannya. Begitu terus setiap hari. Kadang aku sampai merasa papaku memakai azas monopoli cucu. Tapi aku yakin banyak kakek-kakek yang bersikap seperti itu ke cucunya, jadi biarlah.
Pulang senam pagi, aku langsung ke kantor. Malas rasanya harus kembali lagi ke rumah untuk berganti pakaian batik. Biasanya teman-temanku juga langsung ke kantor, nanti waktu istirahat baru ganti pakaian.
Baru saja sampai di kantor, hape ku berbunyi. Dari papaku.
"Assalamu"alaikum, ada apa Pa?"
"Ta, Papa mau ke Polewali, Puang Mengga meninggal," Puang Mengga adalah salah satu tokoh masyarakat Mandar yang lumayan dekat dengan kakek dan Papaku.
"Papa pinjam mobilnya Ita ya."
Aku yakin Papaku mau buru-buru, karena pemakaman biasa dilakukan setelah shalat Jumat.
"Tapi hati-hati ya Pa. Papa biasanya suka ngebut-ngebut kalau bawa mobil sendiri. Ajak supir ya Pa!" aku agak khawatir. Entah kenapa. Karena akhir-akhir ini aku sering berpapasan di jalanan dengan Papa yang sedang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi.
Papaku hanya tertawa mendengar kata-kataku. "Papa tidak bermalam, selesai pemakaman langsung pulang."
"Tapi Papa bawa supir ya, dan jangan ngebut-ngebut!" entah kenapa aku berulangkali mengingatkan Papa.
"Ya sudah, Papa pergi dulu ya supaya bisa singgah shalat Jumat di Majene."
Mamuju - Majene bisa ditempuh sekitar 3 jam, dari Majene ke Polman sekitar 1,5 jam lagi.
Setelah Papaku menutup telpon, aku melanjutkan memeriksa berkas-berkas penawaran sponsorship media yang menumpuk di mejaku. Jam 10 aku memutuskan untuk pulang. Terlalu cepat, tapi sudah tidak ada lagi yang mau kukerjakan. Staff lain di kantor asyik bermain tenis meja, ada yang berkaraoke, ada juga yang asyik bergerombol di pojokan. Entah bergosip apalagi. Hari Jumat memang hari paling santai untuk PNS di kantorku.
Sampai di rumah aku langsung mencari Rivas dan Farrel. Ternyata mereka telah tertidur pulas. Kututup pelan-pelan pintu kamar dan mengambil air putih di dapur.
Mendadak hapeku berbunya, dari Rizka, adik iparku. Tapi terputus. Aku mencoba menelpon balik, tapi hapenya sibuk terus. Lima menit kemudian dia sudah di depanku, dengan wajah yang berantakan habis menangis. Ada apa ya? Aku mencoba menebak-nebak tapi tidak mendapatkan jawabannya.
"Kak, Mama dimana Kak?" kudengar suara Rizka yang bercampur tangis.
"Di kamar depan. Ada apa?" tanyaku heran.
Tumben dia langsung menanyakan Mamaku. Aku langsung khawatir terjadi sesuatu dengan adikku Tatas, suaminya.
"Papa kak, Papa...."
"Papa? Papa kenapa?" tanyaku bingung. Tidak mengerti maksud pembicaraan ini.
"Papa kecelakaan Kak. Tadi Om Budul nelpon saya. Papa kecelakaan dekat Majene," tangis Rizka langsung pecah.
Aku mencoba tenang, berharap semuanya terkendali.
"Papa bagaimana?"
"Papa parah, kak. Om Budul bilang Papa parah sekali. Bagaimana ini kak, kasihan Mama...." Rizka terdengar antara bingung dan panik.
Badanku rasanya langsung lemas, jiwaku kosong, perasaanku hampa. Ada ketakutan paling dalam yang aku sendiri tidak dapat ungkapkan. Tapi aku tidak bisa menangis. Aku tahu, aku harus kuat saat ini. Segera ku telpon Om Budul. Adik Papaku ini sudah dua hari di Majene. Aku harus tahu kejadian sesungguhnya.
"Papa bagaimana Om" tanyaku tanpa basa basi begitu Om Budul mengangkat telponnya.
"Ini Om di rumah sakit. Papamu tidak banyak lukanya, cuma sedikit di bagian kepala. Itu sementara ngobrol dengan keluarga yang datang menjenguk." Di latar belakang kudengar suara papaku sedang bicara. Alhamdulillah.
"Papa tidak apa-apa Om?"
"Mudah-mudahan tidak apa-apa. Lagi diperiksa dokter." Syukurlah. Aku tidak mengerti kenapa Rizka sampai sepanik itu, padahal Om ku sendiri mengatakan Papaku tidak apa-apa.
"Kak Ita yang kasih tau Mama ya. Saya tidak berani," adik iparku yang satu ini memang mudah panik dan menangis. Walaupun berprofesi dokter, selalu dia yang histeris menangis duluan kalau anaknya berdarah karena jatuh.
Aku mengajak Rizka ke kamar Mama. Mama menatap heran melihat mata Rizka yang bengkak.
"Ma, Ita mau ngasih tahu sesuatu, tapi Mama jangan kaget dulu ya."
Mamaku sudah tidak bisa bicara apa-apa. Dia tahu, pasti sesuatu yang buruk yang akan kusampaikan.
"Ma," kuelus tangan Mamaku perlahan, "Papa kecelakaan di Majene. Ita sudah telpon Om Budul, tapi Om bilang tidak apa-apa."
Kutatap wajah Mama. Wanita yang selalu kelihatan perkasa menghadapi sulitnya kehidupan selama mendampingi papaku yang tentara ini, sesungguhnya sangat rapuh bila berhubungan dengan masalah suami dan anak-anaknya. Aku tahu, Mama selalu menyembunyikan air matanya dari kami, anak-anaknya. Saat kusampaikan berita tentang Papa pun Mama tidak menangis. Cuma wajahnya memucat seperti kehilangan seluruh cahaya dan jiwanya.
"Coba telpon lagi Om Budul!" Mama tampak ingin tahu pasti kondisi Papaku.
Kutelpon om ku sekali lagi. Masih kudengar suara Papaku bercakap-cakap.
Aku bersyukur, berarti Papa baik-baik saja.
"Papa masih bicara-bicara, Ma."
"Coba tanya Om Budul, hapenya Papa ada tidak?" Mama rupanya ingat tadi pagi Papa membawa dua hapenya.
"Ada, Ma," aku meneruskan informasi dari Om budul.
"Om, dalam tasnya Papa ada uang. Pakai saja untuk bayar obat yang mendesak. Saya cari mobil dulu baru berangkat kesitu. Coba tanya Papa uangnya disimpan disebelah mana."
Kudengar Om bertanya ke Papa.
"Papamu tidak ingat Ta. Kepalanya masih pusing. Mau bicara langsung dengan Papa?"
Aku berpikir sejenak. "Tidak usah Om. Yang penting saya tahu Papa tidak apa-apa. Saya mau pinjam mobil dulu di kantor, sebentar saya kabari lagi kalau sudah mau berangkat." kalimat dan keputusan yang sesudahnya sangat kusesali seumur hidupku.
Sebelum ke kantor, mama menyuruhku singgah di Tante Lahmat. Suaminya dulu anggota papaku di Kodim. Sudah pensiun juga, tapi sudah seperti keluarga saja.
Tante Lahmat kaget waktu kuceritakan Papa kecelakaan. Di rumahnya kebetulan ada tamu, dua anak muda dan seorang tua yang sudah putih semua rambutnya. Tante Lahmat berbicara dengan tamunya menanyakan sesuatu dengan memakai bahasa Mandar. Aku menyimak dan mencoba memahami sedikit dengan kemampuan bahasa Mandarku yang pas-pasan.
"Pua' (bahasa Mandar: bapak) ini punya kemampuan bisa sedikit melihat, Mbak. Dia bilang Bapak tidak apa-apa, tidak ada luka sama sekali di badannya. Mobil yang dipakai juga tidak apa-apa."
"Syukurlah Tante," aku tidak dapat menutupi rasa syukurku. Aku berdoa itulah 'penglihatan' terbaik yang pernah dimiliki Pua'.
Mamat, anak Tante Lahmat yang biasa membawa mobil bersedia menjadi driver dari Mamuju ke Makassar.
Dalam perjalanan ke kantor untuk mengambil mobil, hapeku berdering lagi. Dari Om Budul.
"Ya Om, bagaimana?"
"Papamu tadi muntah waktu mau di scan kepalanya. Dan sekarang tidak sadar."
Ya Tuhan! Aku tahu apa artinya benturan di kepala dan muntah. Berarti papaku gegar otak. Tapi pingsan? Aku merasakan seluruh sendi tubuhku lemas. Terbayang wajah Mama, adik-adikku, Rizka, anak-anakku....
"Dokter disini sarankan untuk dirujuk ke Makassar. Bagaimana Ta?"
"Carikan ambulans Om. Berangkat secepatnya sekarang juga. Urusan administrasi di rumah sakit nanti saya selesaikan. Jangan tunggu saya dengan Mama lagi. Setiap menit sangat berarti untuk keselamatan Papa." Aku langsung mengambil keputusan. Mudah-mudahan aku tidak salah.
Sampai di rumah dengan mobil kantor, kami bergegas berangkat. Kepada Mama aku cuma bilang tadi papa muntah, jadi langsung dirujuk ke Makassar. Aku tidak tega untuk bilang kalau Papa sudah tidak sadarkan diri.
Sepanjang jalan, kulihat Rizka terus memencet hapenya, ber sms entah dengan siapa. Setelah itu dia menangis diam-diam. Aku tidak mau memikirkan hal yang buruk. Aku yakin Papaku kuat. Aku yakin Papaku akan selamat. Aku yakin Papaku akan sehat lagi. Dia pasti akan selalu rindu untuk pulang, rindu pada Mama, rindu pada Rivas dan Farrel.
Bunyi sms di hape mengejutkanku. Dari Rizka. Rizka? Ada apa?
'Kak Ita, kasih tau mama yang sebenarnya. Jangan ditutup-tutupi.'
Apa maksudnya? Toh Papa cuma pingsan. Aku yakin sampai di Makassar, dokter dengan peralatan yang canggih akan segera menyembuhkan Papa.
Kutelpon Om Budul. Suara sirine ambulans terdengar tidak berhenti. Mobil ambulans nampaknya melaju kencang tanpa hambatan.
"Papa bagaimana Om?"
"Masih seperti tadi, cuma belum sadar-sadar juga."
"Mudah-mudaham Papa tidak apa-apa ya Om."
"Kita doakan saja."
Singgah di Majene, kuselesaikan semua biaya administrasi Papa. Aku ikut membaca status pasien punya Papa. Ada luka yang agak dalam di kepala sebelah kiri.
"Ini yang bahaya, Kak," adikku tampak khawatir. Tapi aku tidak tahu, separah apa kondisi Papa.
Sepanjang jalan yang terasa sangat sangat panjang menuju Makassar, pikiranku dipenuhi bermacam pikiran. Aku marah sama Papa, kenapa Papa tidak mau mendengar kata-kataku tadi pagi? Bukan masalah mobil yang rusak, tapi masalah keselamatan Papa. Kenapa Papa pergi sendiri tanpa mengajak supir?
Tante Saripa, adik Papa yang menunggu kami di RS Majene bercerita, ban mobil bagian depan pecah saat Papa melaju dengan kecepatan tinggi di Totolisi, satu jam sebelum masuk kota Majene. Menghindari seorang Bapak yang berdiri di pinggir jalan hendak membeli bensin eceran, Papa membanting stir ke arah pohon mangga. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Papa saat itu. Xenia silver yang terparkir di pinggir jalan nampak mulus dari depan. Yang rusak ternyata di bagian kanan belakang. Aku jadi teringat 'penglihatan' Pua' di Mamuju. Ada benarnya juga. Dia melihat Papaku tidak apa-apa, karena badannya bersih tanpa luka. Dia melihat mobil tidak apa-apa, karena dilihat dari arah depan. Barangkali ini terakhir kalinya aku percaya pada 'penglihatan-penglihatan' seperti itu.
Mendekati Makassar, aku tidak bisa memejamkan mataku. Sudah hampir jam sepuluh malam. Tapi aku tidak merasa mengantuk, tidak merasa lapar, tidak merasa capek. Aku tahu, aku harus tetap kuat. Karena tadi Deddy, adik bungsuku, mengirim sms.
'Kasihan Papa, kak. Kalau bisa biar Deddy yang gantikan Papa jalani semua ini.'
'Kita berdoa saja untuk keselamatan Papa, Ded. Jangan pernah menyerah dan berhenti berdoa.'
Aku tidak tahu apa sesungguhnya yang Papa alami.
Sesampai di parkiran RS Wahidin Makassar, Mama keluar dari mobil dengan bersemangat, seperti biasa kalau akan bertemu Papa. Rizka dan Tatas kulihat sudah kehabisan tenaga. Dua anaknya, Tariza dan Abrar dibawa serta. Kalau aku cuma membawa Rivas, Farrel kutinggal dengan si kembar. Teman kantorku ku telpon supaya menginap di rumah dan menemani Farrel. Aku harus menyiapkan semuanya karena baru kali ini aku harus berpisah dengan anak bungsuku itu.
Memasuki teras RS, ada mama dan Papanya Rizka yang langsung memeluk Mama dan meminta untuk tabah. Mama masih bisa tersenyum
Dikursi panjang depan UGD, ada Deddy dengan Om Budul. Semua tampak kusut. Ada Om, Tante, dan sepupuku lainnya. Semua berkumpul di UGD.
"Sabar ya, Tante. Sabar ya," semua memeluk Mamaku yang tampak biasa saja. Aku agak tegang, tapi aku bingung dengan sambutan semua orang.
Begitu langkah kaki memasuki UGD, disudut ada satu tempat tidur yang penuh dikerumuni orang. Kerumunan langsung tersibak begitu tahu aku dan Mamaku masuk. Dan saat itu juga....mamaku langsung mencengkeram lenganku keras, mencari kekuatan disana.
"Kenapa Ita tidak bilang kalau Papa sudah tidak sadar? Kenapa Ita tidak bilang kalau Papa parah? Mama kira Papa masih bisa bicara, tapi kenapa Papa begini?"
Tangis Mama pecah. Seluruh keluarga menatapku dengan tatapan menyalahkan. Aku hanya bisa terpana. Bingung dan tidak mengerti. Aku tidak menyangka harus menyaksikan Papa dengan kondisi seperti ini. Dadanya dipenuhi selang yang dihubungkan dengan alat monitor, di mulutnya terpasang ventilator. Sementara kepala sebelah kirinya nampak bengkak dengan ukuran yang luar biasa. Aku tidak bisa berkata-kata. Berdiri termangu di kaki Papa. Kupegang telapak kakinya, masih terasa hangat.
"Bangun Pa, bangun. Ini Mama datang. Buka mata Pa, papa tidak kasihan sama anak-anak? Ada Ita, ada Tatas, ada Deddy juga disini. Bangun Pa."
Aku tidak tahan melihat kepedihan Mama yang bersandar di pelukan Dedy. Semua menangis. Dan aku hanya bisa menatap dengan tatapan kosong. Rivas yang kugandeng menarik-narik tanganku dan menyadarkanku dari lamunan.
"Mami, ayo keluar. Kenapa Opa bobo' tidak pakai baju?" dia nampak tidak nyaman dengan kerumunan orang, dan bingung dengan Opanya yang berbaring dengan aneka selang tanpa baju.
Aku menarik tangannya menjauhi tempat tidur Papa. Di pintu keluar, beberapa sepupu memarahi aku.
"Kenapa Tante tidak di kasih tahu, Ta? Harusnya jangan disembunyikan kondisi Om."
Siapa yang menyembunyikan? Aku bahkan tidak tahu kondisi Papa seperti ini. Aku berpikir Papa hanya tidak sadar, setelah itu Papa akan bangun dan tersenyum lagi seperti sedia kala.
Aku ingin marah dengan kata-kata sepupuku. Tapi aku sudah tidak ada energi untuk marah lagi.
Kugandeng Rivas menghampiri Om Budul yang duduk di kursi panjang di luar UGD.
"Jadi bagaimana Ta, Papa mau dibawa kemana?" tanya Om Budul.
Aku heran, bukankah harusnya Papa mendapat perawatan terbaik dulu disini? Jadi biarlah Papa diobati dulu disini sampai sembuh.
Aku baru paham makna ucapan Om Budul setelah Tatas dan Rizka menjelaskan padaku.
"Papa masih bertahan karena semua selang dan peralatan yang terpasang di tubuhnya. Kalau semua itu dicabut, Papa sudah tidak ada, karena benturan di kepala Papa menyebabkan Papa mengalami mati batang otak. Semuanya sudah tidak berfungsi lagi."
Ya Tuhan....
Aku tahu Tuhan memilih aku untuk menerima cobaan ini karena Dia tahu aku akan kuat menjalaninya. Tapi melihat Mama, Dedy, Tatas, Rizka, semua yang begitu sedih dan kehilangan, aku tidak kuat melihat mereka!
Kenapa Papa tidak pernah mau mendengar perkataanku untuk berhati-hati di jalan? Kenapa Papa tidak bilang kalau Papa tidak akan pernah bisa pulang lagi? Kenapa Papa tidak peduli pada perasaan Mama dan adik-adik? Dan yang lebih aku sesalkan, kenapa aku menolak bicara dengan Papa untuk terakhir kali di telpon siang tadi saat Papa masih sadar? Kenapa aku begitu bodohnya? Kenapa Tuhan?
Berjuta kenapa yang tidak bisa kujawab sendiri untuk waktu yang lama.
Aku terenyuh, saat besok paginya, hari Sabtu jam enam pagi, kami dengan ikhlas mengijinkan dokter melepas semua alat bantu yang melekat di tubuh Papa. Untuk terakhir kali kugenggam tangan Papa yang hangat. Kutatap wajah tirusnya yang nampak tidak berdaya, kucium keningnya dan kubisikkan, "Pa, Ita ikhlas kalau Papa mau pulang duluan. Ita ikhlas, Pa." dan untuk terakhir kalinya kurasakan tangan Papa bergerak membalas genggaman tanganku. Apakah Papa mendengar semua ucapanku? Aku yakin jawabannya 'YA'. Meski dalam ilmu kedokteran Papa seharusnya tidak bisa lagi merespon sekelilingnya, tapi Papa masih membalas genggaman tanganku. Aku yakin, itulah kata terakhir yang ingin Papa sampaikan padaku. Sebuah pesan maaf, sebuah pesan untuk melanjutkan semua yang belum Papa selesaikan.
Papaku dimakamkan di Majene, kampung halamannya. Terharu rasanya melihat teman dan sahabat yang jauh-jauh datang dari Mamuju untuk menyampaikan bela sungkawa, menghadiri pemakaman Papaku.
Aku tidak menangis sampai beberapa bulan berikutnya, bukan karena aku tidak bersedih, tapi karena aku merasa amat sakit yang tidak bisa ku lukiskan dengan kata-kata.
Sakit melihat kepedihan di mata Mama atas kepergian Papa yang tiba-tiba. Sakit melihat tubuh dingin Papa yang berbaring di ruang tengah menunggu untuk dimandikan dan dimakamkan. Sakit melihat Rivas yang bermain di samping jenasah Opanya dan berulangkali bertanya, kenapa badannya Opa dingin sekali. Kenapa Opa tidur terus? Kenapa Opa meninggal? Seharusnya Opa tidak boleh meninggal. Dan setelah itu dia akan menangis tersedu-sedu. Di usianya yang belia Rivasku harus merasakan arti kehilangan.
Aku teringat kata-kata sahabatku Kicky, di hari ayahnya meninggal. "Ta, selagi Ayahmu masih ada, selagi orangtuamu masih ada, sayangilah mereka sungguh-sungguh. Karena kalau mereka sudah pergi, kamu baru akan merasakan betapa cinta dan kasih kepada orangtua itu masih sangat kurang."
Hari itu aku baru paham benar arti kata-kata Kicky.
Berpuluh purnama setelah itu, aku masih saja merindukan Papa. Masih mengintip dari balik jendela, berharap Papa pulang mengendarai si Merah Galeter dan mengajak Rivas dan Farrel jalan-jalan lagi.
Berpuluh purnama setelah itu, aku masih merindukan Papa. Berharap dapat kucium lagi jemari tangannya, berharap dapat kudengar lagi suaranya, berharap dapat kupeluk Papa, hal yang amat sangat jarang kulakukan karena Papa dan aku tidak biasa mengekspresikan rasa sayang seperti itu.
Berpuluh purnama setelah itu, Mama masih sering menangis diam-diam karena rindunya pada Papa. Masih berharap Papa pulang dan berkata semua itu tidak pernah terjadi. Papa masih sehat dan tidak pernah tertidur dalam mimpi yang panjang. Papa masih tertawa dan bermain dengan cucu-cucunya di halaman samping.
Tapi semua itu tidak akan pernah bisa kembali. Walaupun lama baru bisa menerima dengan keikhlasan yang tulus, akhirnya aku bisa benar-benar menerima.
Banyak hal yang tidak akan pernah bisa kembali. Ada halaman kosong dalam jiwaku yang tidak akan pernah terisi lagi, tapi aku yakin, di alam sana Papa hidup lebih bahagia dibanding di dunia ini. Papa mendapat nikmat dan anugrah Tuhan untuk pulang duluan, dan menanti kami semua disana untuk dapat berkumpul lagi. Melihat dengan bahagia cucu-cucunya bertumbuh besar. Melihat Rivas, Farrel, Tariza dan Abrar.
Sampai sekarang pun Rivas masih sering bertanya saat menatap langit, "Opa bisa melihat kita dari atas sana, Mami?"
Iya Nak, Opa akan selalu tersenyum melihat kita. Opa akan berkata, Opa harus pergi duluan, karena Tuhan sudah menyiapkan rencana yang lebih besar untuk kalian jalani tanpa Opa. Dan semua itu karena Tuhan tahu, kalian akan sanggup dan kuat untuk menghadapinya.
Banyak hal yang tidak akan pernah kembali, dan aku belajar banyak hal tentang kasih sayang. Belajar untuk tidak pernah berhenti menunjukkan dan mengungkapkan rasa sayang pada orang yang kita kasihi, untuk mengatakan sayang dan memberikan sebuah pelukan yang hangat, sebelum semua itu tidak bisa dilakukan lagi.
(Mamuju, 3 Agustus 2010 08.40.pm)