Malam yang cerah. Duduk di kursi rotan favoritku di halaman tempat parkir. Lumayan lelah setelah seharian tadi bekerja menyiapkan segalanya untuk lebaran besok. Ditemani secangkir besar kopi panas yang masih mengepul. Hmmm....
Sekilas terdengar suara musik dan orang bernyanyi. Dua bangunan dari hotel ini akan dibuka kafe baru, bisa internet dan karaoke. Karaoke? Tampaknya bukan gabungan yang nyaman. ditambah lagi format ruangannya yang terbuka. Disaat orang bernyanyi, yakin saja, suaranya pasti akan mengganggu ketentraman orang-orang disekelilingnya. Sekarang saja aku mulai tidak nyaman duduk di halaman setiap malam. Suara musik di sebelah berisik sekali.
Aku menatap halaman tempat parkir yang lumayan luas. Lantainya dibuat berbentuk kotak-kotak ukuran 50 x 50 cm. Diantaranya ditanami rumput Jepang yang tumbuh subur. Ini ideku, walau tadinya semua menentang. Tapi siapa yang berani melawan titah pimpinan proyek? Hahaha..... Nyatanya sekarang, banyak orang yang senang melihat pengaturan halaman parkir ini. Unik dan menyisakan jalan resapan air pada saat hujan. Jadi biarpun hujan turun sangat deras, tidak ada air yang akan menggenang dan mengganggu di halaman.
Langit bertabur bintang. Berkerlap kerlip seperti pancaran lugu mata kanak-kanak. Malam ini malam takbiran. Tidak terasa, sebulan sudah puasa kujalani. Bangun sahur sebelum subuh tiba, menahan haus dan dahaga seharian, menyiapkan menu berbuka puasa, shalat tarweh berjamaah di mesjid, kadang juga di rumah kalau hujan turun dengan derasnya. Aku bersyukur, cuaca sangat bersahabat pada puasa kali ini. Siang hari udara dan sinar matahari tidak terlalu terik.
Suara takbir terdengar sayup-sayup dari mesjid di ujung jalan. Nyanyian orang yang berkaraoke tadi sudah tidak terdengar lagi. Syukurlah. Tidak nikmat rasanya mendengar suara takbir bersamaan dengan suara orang berkaraoke.
Aku menatap ke halaman. Suara ceria anak-anak yang tertawa girang terdengar keras. Anak-anak dan keponakanku berlarian bebas di halaman. Berkejar-kejaran. Abrar tertawa geli saat Rivas berusaha susah payah mengejarnya. Akhirnya dia berhenti di sebelah pohon palem di samping hotel, dan membiarkan Rivas menangkapnya.
"Ayo Adek Aba, gantian kejar aku!" Abrar segera balik mengejar, kali ini diikuti Farrel yang tidak mau ketinggalan. Terus begitu berulang-ulang. Entah darimana anak-anak kecil ini punya stamina yang luar biasa untuk terus bergerak. Aku saja merasa capek melihat mereka.
Sesekali Tariza ikut bergabung berlari dengan sepupu-sepupunya. Kadang kalau mulai letih, dia memilih duduk di pinggir hotel bawah jendela. Tangannya mulai memetiki daun-daun sejenis bayam-bayaman yang tumbuh rimbun disitu. Aku tersenyum kecil. Naluri gadis kecilnya membuat dia tampak manis dan feminin sekali. Daun-daun itu dikumpulkan sampai banyak, dan mulai disusun berdasarkan ukurannya. Sebentar lagi dia pasti mulai memetik bunga-bunga melati sebagai pelengkapnya.
Mengingat Tariza, aku jadi geli sendiri. Berapa kali kudapati jepit rambut dan lipstickku berpindah tempat saat aku pulang dari kantor. Kadang jepit kamboja putihku yang kubeli di Toko Joger saat ke Bali beberapa bulan lalu, sudah berhamburan kelopak-kelopak bunganya. Lipstick kesayangannku sudah berubah bentuk pada bagian ujungnya, dipakai di bibir, kadang dioleskan di dinding kamarku. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Tariza, yang selalu saja penasaran dengan pernak pernik wanita dewasa.
Tapi terkadang, Farrel pun memiliki rasa penasaran yang sama. Saat aku mematut diri di depan cermin, dia juga selalu ingin tahu dengan lipstick yang sedang kupakai.
"Mami, aku juga mau rasa." Setelah itu dia memaksaku memakaikan lipstick warna coklat nude itu ke bibirnya. Kalau keinginannya belum terpenuhi, tanganku tidak akan dilepaskan.
"Adek nanti kayak badut kalau pake lipstick."
"Tidak pa pa. Sedikit saja." Akhirnya aku harus mengalah menyentuhkan sedikit di bibirnya. Dan setelah itu dia akan berlari ke luar untuk pamer ke kakak dan sepupunya.
"Aku dipakekan lipstick sama mami. Rasanya enak, pedis-pedis." Maksudnya mungkin ada rasa mint yang tertinggal sedikit di bibirnya. Ada-ada saja.
Di malam takbiran begini, mereka selalu merengek minta dibelikan kembang api. Biasa aku membelikan kembang api yang biasa, dan kembang api roket. Mulanya Rivas dan Farrel takut mendengar suara kembang api yang pecah di udara, lama-lama jadi terbiasa. Tapi tetap harus didampingi, aku tidak mau mereka terluka gara-gara kembang api.
Habis isya tadi, ada pawai kendaraan yang takbiran keliling kota. Anak-anakku paling suka melihat miniatur mesjid dan bedug di atas mobil yang beraneka ukuran dengan hiasan lampu berwarna warni. Pada saat bedug dipukul bertalu-talu, diiringi suara takbir, mereka akan menatap kagum dan takjub. Aku tahu, apa yang mereka rasakan tidak beda jauh dengan yang kurasakan saat melihat pawai takbiran keliling puluhan tahun yang lalu saat aku masih seusia mereka. Malam takbiran selalu saja membuat rasa rindu masa masa kanak-kanak.
Anak-anak mungil itu masih saja berkejar-kejaran. Rasa rindu yang tidak pernah dapat kulukiskan dengan kata-kata selalu hadir tiap kali melihat mereka. Teringat kebahagiaan saat pertama menyentuh dan memeluk saat mereka hadir di dunia. Teringat malam-malam yang panjang, saat aku terbangun karena rengekan lapar bibir mereka yang meminta air susu. Teringat langkah-langkah kaki kecil yang baru pertama kali belajar berjalan, tertatih-tatih, setelah itu berlari tanpa bisa berhenti. Sabarlah sayang, masih banyak yang harus kalian kejar sejalan dengan usia yang beranjak nanti.
Kuhirup perlahan kopi panas yang mengeluarkan aroma hangat. Mamaku tadi sedang merebus ketupat dan buras, dua jenis makanan yang tidak pernah absen di rumah hingga saat ini. Ketupat dan buras buatan Mama enak sekali. Malam-malam begini sudah pasti aku tidak akan tahan untuk tidak mencoba duluan. Anak-anakku juga sangat antusias dengan ketupat dan buras buatan Oma.
"Nasinya Oma yang ini enak sekali." Begitu Farrel memuji buras yang dibungkus daun pisang buatan Omanya. Aku hanya tertawa. Dia masih bingung membedakan buras, ketupat dan nasi. Semuanya hanya satu dipikirannya, nasi. Barangkali karena dia tahu bahan dasarnya adalah beras.
Malam ini aku harus memaksa mereka tidur lebih awal. Biasanya saat pagi hari, saat semua heboh bersiap-siap untuk berangkat shalat Id, anak-anak kecil itu yang paling susah disuruh bangun dan mandi pagi. Tapi begitu tiba di lapangan, mereka juga yang paling susah disuruh duduk tenang dan tidak berjalan-jalan keliling di antara barisan-barisan sajadah orang yang mau shalat. Setelah itu ada lagi tradisi yang tidak pernah terlewatkan, beli balon di lapangan! Tukang balon itu tahu saja kalau anak-anak kecil tidak akan berhenti merengek setiap kali melihat balon-balon aneka warna yang bergerak-gerak ditiup angin. Dan akhirnya selalu sama, mereka pulang dengan tangan masing-masing memegang balon dengan warna kesayangan.
"Mami...." Rivas dan Farrel melambai-lambaikan tangannya. Aku membalas lambaian tangan mereka. Setelah itu mereka mulai berlari-lari lagi. Aku tersenyum haru. Betapa cepat waktu berlalu.
"Ita, ayo masuk sudah malam! Ketupat dan burasnya sudah masak dari tadi. Kamu bisa masuk angin kalau duduk terus di luar seperti itu." Suara Mama mengagetkanku. Aku menoleh dan menganggukkan kepala.
"Iya Ma."
Aku membalikkan kepala lagi ke arah halaman. Sepi. Tidak ada siapa-siapa disitu. Aku menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, tidak ada Rivas dan Farrel. Hanya suara tawa dan teriakan-teriakan ceria mereka yang terus menggema di sudut-sudut relung hatiku. Hanya ada wajah mereka yang terpantul di tiap sudut halaman. Tidak ada siapapun disitu. Aku seperti terbangun dari mimpi yang panjang, mereka sedang berada di seberang lautan saat ini.
Kutatap langit bertabur bintang yang terus berkerlip. Malam takbiran ini aku tidak bisa memeluk dan mencium mereka. Begitu juga saat takbir menggema lebih kencang besok pagi. Tapi aku yakin, dimanapun mereka saat ini, kerlap-kerlip bintang akan selalu menghangatkan mereka, menggantikan pelukan yang tidak lagi bisa kuberikan. Dan kerlap-kerlip bintang akan selalu mengingatkan, ada seorang Ibu yang tidak akan pernah berhenti menyayangi dan mencintai mereka, walau jarak begitu jauh memisahkan.
Aku tersenyum, membiarkan kehangatan dari kerlipan bintang menjalari seluruh hati dan jiwaku. Tuhan sedang mengingatkan, ada tali kasih yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Aku berajak dari kursi rotan, membawa cangkir kopiku yang masih terisi setengah. Kutolehkan sekali lagi kepalaku ke halaman yang luas, masih ada senyum dan tawa anak-anakku disitu. Aku membalikkan tubuhku, menahan getar rasa rindu yang tiada pernah ada habisnya.
Selamat Hari Raya Idul Fitri, Nak.
(Mamuju,25 Agustus 2010, 11.53 am)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar