Sabtu, 27 Desember 2014

Catatan yang Tertinggal di Bali

Makassar, 24 Desember 2014, 10.30 pm

Catatan Perjalanan

Pulau Dewata. Begitu seringkali kita mengenal Bali. Dibanding daerah yang menjadi destinasi wisata di Indonesia, Bali selalu menjadi urutan pertama. Bukan saja untuk wisatawan lokal, tapi juga utk wisatawan mancanegara. Bahkan di luar negeri Bali jauh lebih terkenal dibanding Indonesia.

Back to holiday. Ya, akhir tahun aku kali ini ditutup dengan berlibur di Bali. Sengaja aku tidak memilih waktu yang berdekatan dengan natal dan tahun baru, karena akan sangat susah untuk mencari hotel atau tempat menginap lainnya. Kecuali sudah memesan kamar jauh-jauh hari sebelumnya. Tingkat kunjungan wisatawan ke Bali selalu meningkat menjelang tutup tahun di bulan Desember. Khususnya bagi turis mancanegara yang sangat suka melewatkan Natal dan Tahun Baru di Bali.


Tiba sekitar pukul 10 pagi setelah pesawat Lion yang membawa aku jam 6 pagi dari Mamuju transit hampir 2 jam di Makassar. Sambil menikmati burger dan secangkir kopi hitam tanpa gula di gerai Burger King Bandara Ngurah Rai Denpasar, aku mulai browsing beberapa hotel murah yang berlokasi di sekitar Legian dan Kuta. Pertimbangan aku karena dua tempat tersebut sangat dekat ke Pantai Kuta, ramai dan akses untuk berjalan-jalan seputar dua lokasi itu sangat mudah.


Burger, Fanta dingin dan balck coffee. Cuma sanggup ngabisin burger dan kopinya.

Tapi mencari hotel di awal Desember ternyata agak susah. Beberapa hotel yang aku hubungi via telpon menjawab full sampai tahun baru. Tapi bila kita memesan secara online melalui beberapa jasa pemesanan hotel online seperti Traveloka atau Agoda, masih tersedia beberapa kamar dengan harga yang di bawah tarif hotel resmi. Mereka menawarkan diskon sampai 70 persen. Lumayan kan.

Aku tidak putus asa. Hari pertama ini aku memang ingin mencoba berlibur ala backpacker. Dengan menginap di hotel-hotel yang relatif murah bagi wisatawan dengan budget yang terbatas.

Setelah menelpon kiri kanan, akhirnya ada satu yang menyisakan tempat untuk aku menginap hari ini. Kayun Hostels Downtown.. Dengan harga seratus sembilan puluh sembilan ribu per bed sudah termasuk pajak dan sarapan pagi.

Per bed? Ya. Karena untuk hostel backpacker yang murah meriah, satu kamar terdiri dari 4, 6, 8, atau 12 bed. Bisa diisi campur laki atau perempuan (sangat cocok bila berlibur satu keluarga dengan anak-a1nak yang beranjak dewasa), atau yang privat (laki-laki semua atau perempuan semua).

Dari bandara ke hotel aku memilih naik taxi bandara yang sopir-sopirnya menunggu di parkiran. Lebih murah dan bisa ditawar. Kalau barang yang dibawa tidak terlalu besar, bisa juga naik ojek dengan biaya 30 - 50 ribu sampai di daerah Kuta atau Legian. Aku memilih naik taxi Avanza tanpa argo dengan sewa 100 ribu sampai di daerah Legian. Bila kebetulan ada taxi argo dari luar sejenis Blue Bird, ongkosnya jauh lebih murah. Hanya 40an ribu. Bandingkan taxi dari Mamuju ke Tampapadang yang sejak bbm naik ikut naik juga menjadi 180 s.d 200 ribu rupiah.

Di sepanjang jalan sang supir yang ramah mencoba mengajak ngobrol. Aku hanya tertawa dan menjelaskan dengan rinci saat dia tidak berhasil mengingat dimanakah letak kota yang bernama Mamuju, ibukota Provinsi Sulawesi Barat.

Sambil ngobrol aku agak cemas juga. Inilah pengalaman pertama aku menginap di hostel backpacker. Kalau standar hostel backpacker di Singapore sangat bersih meski hanya menggunakan kipas angin. Kalau hostel yang aku tuju, sulit dibayangkan.

Setelah agak terjebak macet, tibalah aku di jalan Legian 182. Wow... ternyata hostel yang aku tuju memiliki bangunan yang cukup bersih. Berwarna putih, tiga lantai dan diapit toko-toko dan kafe yang berjejer.  Masuk di lobi aku disambut pemandangan yang menyenangkan. Petugas resepsionis yang ramah, deretan komputer dan wifi gratis, mesin kopi gratis, dan beberapa wisatawan asing yang asyik ngopi, ngobrol dan berkutat di depan komputer. Aku tidak dapat menyembunyikan senyum girang.  Semua yang aku suka ada disini.

Aku memilih kamar privat yang khusus perempuan dengan 12 bed. Seorang petugas housekeeper mengantar aku ke lantai dua. Akses untuk masuk dari lobby menuju area servis untuk tamu yang menginap  di lantai satu dan seterusnya menggunakan kunci otomatis. Terasa aman untuk seorang perempuan yang melakukan perjalanan seorang diri seperti aku.










Sambil berjalan petugas housekeeper wanita itu menjelaskan fasilitas gratis yang bisa aku gunakan. Sarapan pagi paling lambat jam 10 pagi, komputer dan free wifi, free kopi, sharing ruang cinema, yakuzi, kamar mandi terpisah di lantai yang sama, dan aku disambut kamar yang harum, bersih lengkap dengan AC nya. Dan yang paling asyik, hanya aku penghuni ruangan ini. Menjadi penguasa satu ruangan!

Yacuzi di lantai 1

Ruang tamu di lantai 2, tepat di depan pintu kamarku.


Kamar mandi yang bersih dan wangi. Tersedia di tiap lantai.

Dengan 12 bed yang bertingkat, aku memilih bed yang dekat dengan jendela. Aku jadi teringat suasana Asrama Mahasiswa (Ramsis) Unhas dengan tempat tidur yang bertingkat saat aku kuliah dulu.

Aku bersyukur mendapat alamat Hostel Kayun ini. Letaknya dekat sekali dengan Monumen Bom Bali. Tempat meledaknya bom bunuh diri yang banyak menewaskan wisatawan asing beberapa tahun lalu. Setelah melepas sepatu,  aku mencoba mengambil gambar kamar menggunakan kamera smartphone aku dari berbagai sudut. Di bawah tempat tidur tersedia locker tempat menaruh koper dan barang-barang berharga lainnya.

Aku ingjn beristirahat dulu satu atau dua jam. Setelah itu aku akan menghabiskan sore ini untuk berkeliling seputar Legian dan Kuta. Kuta dapat di akses dengan jalan kaki sekitar 10 sampai 15 menit.


Menyusuri Jalan Legian

Setelah beristirahat sejenak, aku bersiap- siap untuk menyusuri Jalan Legian. Menuju lobby di lantai satu yang berada satu area dengan kafe dan komputer serta wifi gratis, aku tergoda untuk minum kopi dulu. Gelas kopi ketiga sejak pagi tadi.


Black coffee with no sugar.

Menghirup kopi hitam tanpa gula perlahan dan menikmati aroma kopi yang menyegarkan, aku mendapati seorang wisatawan asing perempuan penghuni hostel yang tengah mengakses facebook bersama seorang teman prianya menatap aku dengan heran. Aku membalas dengan senyuman maklum. Tentu mereka merasa aneh melihat seorang perempuan berhijab memilih menginap di hostel. Dia tidak tahu kalau aku memilih ruangan privat yang tidak bercampur dengan tamu laki-laki.


Sesama tamu Hostel Jatun.Area free wifi yang digabung dengan resepsion, resto dan toko perhiasan perak.


Setelah menghabiskan isi cangkir kopi, aku mulai berjalan menyusuri jalan Legian. Perlahan-lahan. Sesekali aku berhenti untuk mengambil gambar, mengamati kerajinan handmade khas Bali yang dijual sepanjang jalan, singgah di tempat pembuatan tattoo, berpapasan dengan banyak wisatawan asing dengan gaya berpakaian yang unik, agak terbuka dan seenaknya. Bahkan seorang wisatawan Jepang dengan santai hanya menggunakan celana pendek dan memamerkan tattoo yang menghiasi sebagian besar tubuhnya. Tattoo permanen.



Bisa milih, mau tattoo permanen atau tattoo temporer disini.



Aku menyembunyikan senyum, teringat setiap kali datang ke Bali aku selalu membawa pulang oleh-oleh tattoo temporer. Entah itu gambar naga kecil, simbol Yin dan Yang, matahari, atau gambar unik lainnya. Harganya bervariasi, mulai 25 ribu sampai 150 ribu. Tergantung besar kecilnya tattoo. Aku belum memiliki keberanian untuk membuat tattoo permanen. Teringat cemoohan aku saat membully seorang teman yang memiliki tattoo kelelawar di dada kanannya. Aku ingat pernah mengatai tattonya akan menumpuk seperti kain gorden yang tertutup, saat kulit mulai keriput karena dimakan usia. OMG, aku tidak ingin memiliki tumpukan naga di kulit aku karena tattoo permanen dan kulit yang keriput.


Tattoo di Pantai Kuta

Tadaaaaaa.......my new tattoo.....

Sepanjang jalan Legian ternyata ada beberapa hostel dan banyak hotel murah. Wajar kalau di area inilah pusat teramai di Denpasar. Dari hasil browsing bila kita booking hotel online akan banyak hotel yang berharga mulai 150 ribu per malam. Walau hanya menggunakan fan, lumayanlah untuk istirahat. Toh waktu di Bali akan lebih banyak digunakan untuk jalan-jalan.




Berjarak 200 meter dari Hostel Jatun, kita akan temui Monumen Bom Bali. Dengan latar belakang ukiran Bali yang khas, disitu berjejer nama-nama korban dan asal negaranya. Korban paling banyak warga negara Australi dan Indonesia. Aku agak bergidik teringat cerita seorang tour guide beberapa bulan lalu saat aku berkunjung ke Bali. Konon, pada malam-malam tertentu sering terdengar tangisan dan jeritan minta tolong dari arah monumen tersebut. Suasananya persis sesaat setelah kejadian peledakan bom yang menurunkan secara drastis angka kunjungan wisata ke Bali dan larangan mengunjungi Bali dari beberapa negara karena faktor keamanan. Untunglah sekarang arus kunjungan sudah normal kembali.

Monumen Bom Bali

Dua bule yang mengunjungi monumen Bom Bali.

Daftar nama para korban Bom Bali.

Masih di Legian, di antara toko-toko, pub dan restoran yang menyediakan minuman beralkohol, tetap berdiri gagah Pura tempat ibadah warga Hindu Bali. Di depan dan dalam toko juga ditemui sesajen dan aroma dupa yang khas. Setiap hari sajen dengan menggunakan anyaman daun kelapa dan diisi beberapa jenis bunga dan potongan daun pandan itu harus diganti. Sebuah prosesi agama dan budaya yang tetap terjaga.

Paddy's pub dengan dekorasi yang 'Bali'

Another pub di Legian


Aku teringat statement seorang teman pada sebuah acara diskusi tentang fenomena media sosial, bahwa medsos diyakini memegang peranan penting  dalam pergeseran dan hilangnya nilai-nilai budaya pada generasi muda.

Aku tidak sepenuhnya setuju. Sebab dalam salah satu teori komunikasi disebutkan bahwa masyarakat sebagai komunikator atau penerima pesan bersifat aktif dan memilah-milah pesan yang diterima berdasarkan kebutuhan dan filter konseptual yang dimiliki. Filter konseptual ini dibentuk dari pendidikan yang diterima, nilai-nilai dalam keluarga, faktor lingkungan dan kehidupan sosial. Contoh terbesarnya di Bali, kita akan lebih mudah untuk mempelajari kebudayaannya. Local wisdom pun tetap terpelihara. So, sepertinya kurang tepat kalo media social yang dituding jadi penyebab pergeseran budaya. Kalau menimbulkan budaya baru bisa jadi iya. Di restoran atau kafe di mall sering kita jumpai orang yang asyik bekerja dengan laptop di depannya. Anak-anak muda juga terlihat asyik dengan gadgetnya meskipun sedang berkumpul dengan teman-temannya. Seorang teman justru memilih berlibur di hotel yang menyiapkan fasilitas bermain atau dekat dengan tempat bermain anak-anak, sehingga ia bisa lebih tenang untuk……bekerja bersama laptopnya! Aku tertawa dalam hati. Hal itu tidak akan pernah bisa aku lakukan, paling tidak untuk 3 atau empat tahun ke depan. Si Kakak yang sedang berlibur selalu ngambek bila aku lebih asyik membalas bbm teman dibanding menemaninya ngobrol atau memberikan pertanyaan-pertanyaan ngarang yang membuatnya tertawa dan membully aku sebagai Mommy yang berpikiran tidak ilmiah. Kejadian-kejadian kecil saat liburan dengan anak-anak itulah yang membuat aku memilih meng-off kan hp dan menjauhi dumay selama berlibur. Sorry.

Berjalan terus hampir mendekati pantai Kuta, mendadak aku kehilangan semangatku untuk menikmati sunset. Langsung balik kanan dan kembali ke hostel. Sepanjang jalan beberapa lelaki Bali yang nongkrong di depan pertokoan dan menawarkan ojek menyapaku dengan sok akrab. Menyangka aku turis dari Negara tetangga, Malaysia! Hahahaha…..


Tas unik di sepanjang jalan Legian

Cinderamata untuk oleh-oleh. Karena target marketnya untuk para bule, harganya lebih tinggi dibanding bila kita belanja di pusat oleh-oleh Khrisna.


Sempat singgah di sebuah mini market dan membeli mineral water, aku memutuskan untuk istirahat dan tidur sejenak. Rasanya lelah sekali. Baru berasa efeknya bila malas berolah raga. Semoga mimpi indah.


Teman Baru

Kurang lebih satu jam aku tertidur, telingaku yang agak peka mendengar suara orang berbicara dan membuatku langsung membuka mata. Dengan malas aku mengintip dari balik gorden yang menutupi tempat tidurku. Ternyata Mbak Housekeeper dengan seorang perempuan muda bermata sipit dan tubuh semampai. Dia tersenyum ramah padaku. Aku membalas dengan senyum malas penuh kantuk. Setelah itu melanjutkan lagi tidurku. I’ve got a roommate.

Ketika terbangun, hampir jam 6 sore. Lewat sudah sunset pertamaku di Bali. Hidungku mencium bau keringat hasil jjs sepanjang Legian tadi yang melekat di badanku. Owww… sangat menyiksa mencium aroma keringat sendiri. Aku membuka kunci koper, mengambil baju ganti dan peralatan mandi. Shower time.

Kamar mandi bersama di hostel ini jauh lebih bersih dan terawat dibanding toilet di kantorku nun jauh di Mamuju sana. Wangi, bersih, kering, dan membuat aku betah berlama-lama di bawah kucuran air di shower. Segar rasanya terkena air hangat setelah berkeringat begitu banyak.

Selesai mandi dan berganti pakaian, aku melanjutkan acara bermalas-malasan. Mau turun ke ruang cinema kaki rasanya berat melangkah. Aku mulai berpikir apa saja yang ingin aku lakukan selama 4 hari ke depan nanti. Sudah sering aku memimpikan pergi berlibur and do nothing. Di kamar saja dan menulis sebanyak-banyaknya.

Sementara asyik dengan khayalanku, pintu kamar terbuka dan muncullah Si Mata Sipit dengan senyum ramahnya. Aku jadi ikut-ikutan tersenyum. Jadi penasaran. Mulailah aku membuka percakapan. Pertanyaan standar. Dari mana, nama siapa, sudah berapa lama di Bali, kapan balik, dll. (Aku masih menahan diri untuk tidak menanyakan hobi, cita-cita, tempat tanggal lahir, bintang, pesan kesan, dll, dsb. Hihihihi)

Teman baruku itu bernama Grace. Dia berasal dari China dan berlibur bersama beberapa temannya dari Korea. Mereka berkemah 4 hari di Ubud (waaaaah……aku mau juga!). Pagi tadi teman-temannya back to Korea. Grace sendiri melanjutkan liburannya hingga hari Minggu. Sama, aku juga akan pulang hari Minggu.

Setelah menginterogasi, aku mengajak Grace keluar mencari makan malam. Dia ternyata sudah makan, tapi tidak keberatan menemaniku mencari makan. Baik sekali.

Setelah berpakaian rapi, kami pun berjalan keluar. Dia tidak nampak canggung melihatku berhijab.

“Kita mau makan dimana?” Tanya Grace.

“Terserah. Aku tidak tahu tempat makan yang enak disini.”

“Kamu mau makan di Sky Garden? Tadi saya makan disana.Kamu suka makan apa?”

“Apa saja, asal bukan babi. Saya tidak makan babi.’

“Its ok. Kamu bisa makan barbeque disana. Barbequenya enak sekali.” Grace merekomendasikan barbeque di Sky Garden.

Well, let’s see. Aku langsung setuju. Sambil dalam hati bertanya-tanya dengan agak kampungan, kira-kira bagaimana suasana di Sky Garden ya? Jaraknya sekitar 200 meter dari Jatun.

Di pintu masuk tas ku diperiksa security. Sebatang coklat silverqueen kesayanganku disita. Ternyata tidak boleh mem
bawa makanan dan minuman dari luar. Kemudian pergelangan tanganku diberi label berbentuk gelang dengan tulisan Sky Garden. Tanda telah lolos security check.


Setelah membayar 50 ribu di kasir untuk harga barbeque, aku diberi card untuk free drink dan tanganku distempel. Tanda telah membayar untuk barbeque. Grace hanya menunjukkan gelang kuningnya saja yang masih menempel, dan mendapat card untuk free drink.



“Grace, saya tidak minum alcohol,” kataku mulai panik.

“Kamu bisa minum soft drink saja.” Grace menunjukkan jenis minuman lainnya selain alcohol yang membuatku lega. Tamu yang datang di bawah jam 10 pm memang mendapat free drink. “Tapi bila kamu datang di atas jam 11 malam, kamu bisa mendapat free drink dari tamu lainnya.” Grace menjelaskan padaku dengan tawa bandel. Nampaknya dia sudah terbiasa dengan tempat seperti ini.

“I like dancer. I can dance here.” Katanya menjelaskan.

Di lantai 2 aku memilih barbeque daging sapi dan salad. Suasana belum terlalu ramai. Hanya ada orang bule dan beberapa pria Arab disini. Yang bertampang Asia hanya aku dan Grace.

Makan sambil ngobrol. Grace bercerita bahwa ia menghabiskan setengah tahun untuk stay di China, dan selebihnya di Eropa. Pekerjaannya cukup banyak. Ia bekerja di sebuah universitas sebagai manajer kemahasiswaan. Di waktu luangnya ia bekerja sebagai Event Organizer dan guide. Pantas. Bahasa Inggrisnya bagus sekali dan etikanya tidak seperti (maaf) beberapa orang China arogan yang aku kenal.
Grace

Selesai makan Grace mengajak aku ke lantai 1 untuk mengambil soft drink, dan berjalan-jalan ke lantai 3. Untuk mendengarkan music. Bartender yang semuanya orang lokal Nampak kaget dan aneh melihat aku. Berhijab tapi mengantri free drink bersama seorang gadis China modis yang meminta minuman beralkohol. Hahahaha…. Aku hanya memesan sprite yang dicampur potongan es batu.

Dengan membawa gelas masing-masing kami naik ke lantai 3. Ada DJ, orang-orang bule yang mulai menggila menggoyangkan badan sesuai irama dan mungkin juga pengaruh minuman di depannya. Juga…..dua orang penari yang hanya menggunakan bikini. Ya ampuuun…..pantas semua menatapku seperti melihat alien yang turun ke bumi. Mereka pasti berpikir aku tidak layak disini.

Honestly, this is my first experience. Yach hitung-hitung nambah pengalaman. Berkat Grace aku tidak canggung lagi kalau suatu saat tersesat di pub seperti Sky Garden ini.

Dari hasil nanya-nanya, Sky Garden sekarang menjadi tempat teramai di kawasan Legian setelah Paddys meledak pada peristiwa Bom Bali. Sebenarnya aku tergoda juga untuk tinggal lebih lama lagi dan menikmati malam yang seru. Tapi aku tidak ingin begadang malam ini, karena besok aku ingin menulis seharian. Aku berpamitan pada Grace. Dengan baik hati dia mengantarku pulang, dan kembali lagi ke Sky Garden. Kabarnya sampai jam 3 dan 4 pagi suasana disana sangat meriah. Para bule yang datang memang untuk bersenang-senang itu akan tumpah ruah disana, juga pub-pub disekitarnya.

Ok lah, selamat bersenang-senang Grace. Terima kasih untuk menjadi bagian dari liburanku di Bali.

Grace n friends


RACUN

4 Mei 2023 Pagi tadi ngobrol dengan seorang teman yang berkunjung di ruangan. Tentang perempuan, hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Ka...