Mamuju,
Minggu, 1 Pebruari 2015, 12.46 pm
Setelah
4 hari on the trip, hari ini dipakai untuk menyegarkan fisik kembali.
Gejala-gejala kelelahan mulai muncul. Kalo tidak di antisipasi, bisa drop
beneran. Di usia segini kalau malas olahraga memang berasa banget.
Aku
mau buat sedikit catatan perjalanan kemaren mumpung masih ingat.
Hari
pertama. Begitu tiba di Denpasar dan makan siang, langsung ke Pantai Pandawa.
Pantai Pandawa ini kabarnya belum dibuka terlalu lama. Penyebabnya karena pada
jaman dulu lokasi pantai indah ini tidak dapat dikunjungi karena berada di
bawah tebing setinggi 7 meter dan tidak ada akses ke bawah.
Setelah
pemerintah membuat akses jalan dengan membelah tebing kapur dan membuat jalanan
untuk turun ke pantai, mulailah Pantai Pandawa ramai dikunjungi wisatawan.
Aku
tidak mengerti, pantainya yang agak sempit dan dipenuhi warung-warung penjual,
ataukah kunjungan hari itu memang agak ramai. Pantai penuh sekali. Sampai-sampai
mataku agak susah menemukan ujung-ujung pantai karena terhalang oleh para pengunjung.
Cuacanya juga sedang panas-panasnya. Aku memilih duduk di warung yang terdekat
dan minum kelapa muda. Satu kelapa muda hijau yang dibelah salah satu ujungnya
seharga 20 ribu per kelapa.
Suasana pantai yang sangat ramai. Padahal ini baru akhir Januari. Rombongan anak sekolah dan mahasiswajuga banyak banget. |
Kelapa hijau yang segar. |
Sungguh
hari yang sangat panas. Aku sudah membayangkan kulit wajahku akan berubah
kecoklatan saat pulang ke Mamuju nanti.
Berikutnya
Tanjung Benoa. Aku pengen nyoba parasailing. Tapiiii…..arah angin sementara
nggak bersahabat. Kalau mau maksa harus naik kapal ke tengah laut trus start
dari sana. Waduuuh…masa check in hotel selesai makan malam nanti sambil
basah-basahan? So, alternatif kedua, ke Pulau Penyu.
Dari
pantai Tanjung Benoa sekitar 20 menit menyeberang naik kapal kayu kecil
kapasitas 10 orang dengan biaya 600 ribu pp. Tujuannya ke tempat
penangkaran penyu. Pada hari-hari tertentu ada kegiatan pelepasan tukik, bayi-bayi
penyu yang sudah ditetaskan. Sayangnya waktu aku kesitu nggak ada acara
pelepasan tukik.
Tidak peduli teriknya matahari. Itu kan jiwanya orang berwisata ya.. |
Berpapasan dengan perahu lain. Kurang lebih beginilah model perahu yang kami tumpangi. |
Pintu masuk tempat penangkaran penyu. Di sebelah kiri loket penjualan tiket yang dikelola oleh Desa Adat. Per orang harus membayar 10 ribu rupiah. |
Penyu kuning. Usianya bisa mencapai puluhan tahun. kalau yang ini masih ABG. Baru berusia sekitar satu dua tahun. |
Satu pulau terbagi-bagi dalam beberapa area. Menurut Bli Ketut sang guide, karena pemiliknya beda-beda. Tempat yang aku kunjungi tidak terlalu luas. Disitu ada dua kolam besar tempat penyu-penyu besar usia sekitar 10 sampai 15 tahun. Beberapa turis Jepang memanfaatkan momen untuk memberi makan dan berfoto bersama. Aku juga pastinya.
Seorang wisatawan Jepang memberi makan penyu. Makanannya sejenis rumput laut halus berwarna coklat kehijauan. |
Ada
juga burung rajawali, kelelawar dan ular dalam kandang-kandang yang lebih
kecil. Aku memilih berfoto bersama seekor elang yang pendiam.
Owwwww......aku paling suka foto yang ini. |
Tatapan centil menggoda. Yucks.... |
Oiya…setelah
membayar tiket masuk yang dikelola oleh Desa Adat sebesar 10.000 rupiah, aku
disambut seekor patung penyu raksasa yang lucu. Lumayan juga untuk diajak foto
bareng.
Hari
kedua. Setelah acara utama mengunjungi sebuah kantor di Pemkot Denpasar,
sorenya ke Pantai Kuta. Pantai ini sekarang jadi salah satu tempat favorit aku.
Bukan karena keindahan pantai atau sunsetnya, tapi karena entah kenapa aku
merasa sangat nyaman disini. Berada di antara orang-orang yang tidak
mengenaliku. Nyaman banget. Sayangnya tiba sudah kesorean dan bus rombongan parkir
di tempat yang agak ke ujung, melewati Hard Rock dan sudah sangat dekat dengan
belokan keluar Kuta. Sudah tidak ada tukang tattoo temporer yang biasa berjalan
keliling menawarkan jasanya. Gagal deh buat tattoo. Foto-fotoan saja ah….
Mumpung cahaya masih bagus, bisa dipake selfie... |
Dengan Salma dan Aim. Coba lihat gaya andalannya yang suka jinjit-jinjit di segala suasana... |
Ombaknya lumayan tenang di musim hujan ini. |
Sunset yang tertutup awan. Aaaaaah......sayang sekali. |
Hari ketiga, keempat. Tidak ada lagi yang menarik. Kalau jalan dengan rombongan jadi tidak leluasa mau kemana-mana. Sempat ke Tanah Lot, Sangeh, pusat oleh-oleh Khrisna dan Joger. Sudah sering. Di Khrisna aku malah sempat makan jagung manis yang dicampur susu dan parutan keju kesukaanku, dengan minum ice coffee rasa coffee latte. Di Joger aku memilih beristirahat di bus. Selain busnya parkir di luar Joger dan agak jauh (malas jalan kaki jauh-jauh), rasanya aku kelelahan sekali. Tekad pertama begitu tiba di Mamuju, harus rajin olahraga lagi supaya fisik tetap terjaga. Jiaaaah……perasaan sudah cukup lama tekad itu aku cetuskan. Tapi prakteknya nggak pernah jalan. Hihihihihi……
Ngopi di Tanah Lot. Coba perhatikan kemasan Gulaku yang lucu dan unik. Jadi sayang mau dicampur ke my black coffee. |
Ada
lagi nih catatan waktu naik pesawat Makassar – Mamuju. Rombonganku ketemu
dengan rombongan lain yang baru balik dari Jogja. Jadinya lumayan seru karena
satu pesawat 90 persen teman semua.
Setelah
beberapa menit terbang, penyakit mudah ngantuk dalam cuaca yang sangat dingin
kembali menyerang (padahal biar panas-panasan juga mudah ngantuk..). Tetangga
sebelahku, seorang Bapak berusia agak lanjut juga sudah berhenti bercerita. Jadi
aku bisa menyandarkan kepalaku ke pinggir jendela dan mulai tidur. Sebelum pulas,
aku masih sempat mendengar informasi dari pramugari yang meminta penumpang
untuk duduk dan tetap memakai sabuk pengaman karena memasuki cuaca yang tidak
terlalu baik. Setelah itu aku tertidur. Pulas.
Terbangun
saat roda pesawat hampir menyentuh landasan. Tiba di Mamuju. Suasana hening sekali.
Begitu pesawat melambat, mulai ramai terdengar suara tawa dan celoteh penuh
kelegaan. Aku jadi curiga. Apalagi saat melihat wajah-wajah pucat dan tegang di
sekitarku. Ada apa ya?
Sambil
nunggu-nunggu bagasi, baru jelas apa penyebabnya. Ternyata cuaca buruk bikin
pesawat terguncang-guncang sepanjang perjalanan. Turbulensi. Bahkan pesawat
sempat memutar untuk balik ke Makassar karena khawatir dengan kondisi cuaca. Pantas
semua tegang dan pucat begitu. Dan dengan suksesnya aku tidak merasakan karena…..tidur!