Rabu, 04 Juli 2012

Disaat Kiko Pergi....

" Hanya perlu sebuah keberanian,
 untuk membuat sebuah loncatan dalam hidup... "

Di suatu siang sesudah hujan, aku berjalan melalui tempat parkir ke teras rumah. Udara terasa sejuk. Debu dan rasa kering yang mengganggu selama beberapa hari ini langsung lenyap terhapus hujan beberapa saat yang lalu. Aku menatap daun pandan raksasa yang tumbuh subur di samping rumah. Ibu-ibu biasa menggunakannya untuk membuat kue tradisional di Mamuju, namanya tettu. Bahannya tepung beras, santan, dan gula merah atau gula pasir. Dikukus dalam daun pandan yang dibentuk kotak. Rasanya sangat nikmat. Apalagi disantap dingin di siang hari.

Sambil terus menghayal tentang tettu, tiba-tiba mataku terpaku pada makhluk-mahkluk kecil yang berjejer banyak sekali di lantai teras. Satu, dua, tiga.....ya ampun.... Ada sekitar 20 ekor kodok kecil yang bersantai di lantai teras yang putih. Nggak salah lihatkah aku? Mereka tampak tenang-tenang saja, sama sekali tidak terganggu dengan seorang bidadari cantik yang melotot takjub memandang mereka. 
# sambil make a wish, semoga salah seekor dari mereka adalah seorang pangeran ganteng yang lagi on duty, menyamar agar bisa bertemu princess cantik seperti aku... 

Beberapa ekor di antara mereka balik menatap aku. Beberapa ekor lainnya lagi tampak cuek. Menatap sisa-sisa air yang masih menetes dari pohon pandan raksasa. Aku melangkah mendekat, mereka tetap saja tidak peduli. Asyik menikmati udara yang sangat bersahabat. Mungkin mereka sudah jenuh berkubang dalam air saat hujan tadi. Dan sekarang saatnya bersantai...

Diam-diam aku iri pada 20 ekor kodok kecil kembar itu. Kok bisa sih mereka sesantai itu? Teringat Kiko, kodok kecil yang suka bermain di kamarku. Apakah dia tahu ternyata di luar sini ada begitu banyak keluarga kecilnya? Dengan warna dan ukuran yang sama dengan Kiko. Kalau belum mengenal Kiko dan tidak mengenali kaki belakangnya yang mengecil, aku pasti tidak akan bisa mengenalinya diantara kumpulan kodok-kodok kecil ini.

Aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Tidak layak rasanya aku mengusik keasyikan kodok-kodok kecil ini. Melangkah mendekati pintu kamarku yang terbuka, aku melihat langkah kecil yang tertahan. Kiko! Ya, Kiko. Mau kemana dia? Bukankah tempatnya di kamarku? Bukankah dia yang selalu menemani malam-malamku? Bukankah dia yang selalu membersihkan sisa-sisa nyamuk yang bergeletakan di kamarku setiap malam sebagai makan malamnya? Kiko mau kemana?

Aku berjalan perlahan mendekatinya, mengulurkan tanganku. Dia berusaha mengelak dan melompat menjauh. Ayo Kiko! Tidak aman untuk kodok kecil sepertimu berkeliaran seorang diri. Kamu bisa menjadi santapan dan mainan kucing-kucing nakal tetangga yang sering kelaparan dan mondar mandir disini.

Aku melangkah maju tidak mau menyerah begitu saja. Kiko juga terus meloncat menjauh. Dengan gerakan secepat kilat 
# jurus andalan 'menangkap tanpa bayangan' 

Kutangkupkan kedua tapak tanganku di atas tubuh Kiko. Yes! Dapat! Dengan hati-hati kunaikkan Kiko di tapak tangan kiriku, dan tapak tangan kananku menutup bagian atasnya supaya tidak meloncat dan terjatuh. Dengan gembira kubawa masuk Kiko ke kamarku. Tempatmu di kamar, sayang, bisikku perlahan. Tapi....ya ampun! Dasar nakal! Kodok kecil itu mengencingi tanganku. Ampun deh! Buru-buru kubawa Kiko ke kamar mandi. Kuletakkan dia di sudut favoritnya, dan kucuci tanganku dengan sabun antiseptik sambil melirik Kiko. Dia menatapku dengan tatapan tak suka. Kenapa Kiko? Aku menatapnya heran. Kami biasa berkomunikasi melalui tatapan mata. Dan aku yakin dia bisa membaca makna tatapan mataku.

Kamu tahu, sayang, dunia di balik pintu sana adalah dunia kejam yang tidak akan pernah bersahabat dengan makhluk mungil sepertimu. Disini ada aku yang akan selalu melindungimu, menjagamu. Kenapa kamu ingin berada di luar sana? Apakah nyanyian teman-teman kecilmu di teras sana telah membius dan menyihirmu agar bergabung dengan mereka?

Tahukah kamu Kiko, betapa banyak kemunafikan dan kepura-puraan di luar sana? Yang tersenyum dan tertawa, padahal di belakang mereka mengumpat dan menghujat? Yang mengaku saudara dan sahabat, tapi mereka pergi begitu saja disaat kamu sungguh tidak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa? 

Tahukah kamu Kiko, diluar sana amat banyak makhluk-makhluk jahat yang nampak indah tapi siap dengan semua taring dan tanduk di kepalanya untuk memanfaatkan dan menjatuhkanmu?

Sudahlah, Kiko, please.....stay with me. Aku membutuhkanmu lebih dari yang kau tahu. Aku membutuhkanmu lebih dari semua saudara dan sahabat yang berpaling disaat tak membutuhkanku. Tahukah kamu Kiko, kamulah yang dapat membuatku tertawa dan membuat binar di mataku tiapkali kamu ada disini. Sudah ya Kiko, jangan pernah berpikir untuk pergi dan meninggalkan aku sendiri disini.

Kiko memalingkan wajahnya, tak mau menatapku. Aku memandangnya dengan sedih. Apakah aku salah, Kiko?

Beberapa hari kemudian, Kiko tidak ada lagi di kamarku. Aku mencarinya di tiap sudut kamarku. Berusaha membujuknya untuk muncul, dengan beberapa ekor nyamuk mati di tanganku. Tapi Kiko tidak ada. 

Aku terduduk di lantai kamarku yang dingin. Menyesali kenapa aku sering lupa menutup pintu kamarku. Kiko pasti menyelinap pergi diam-diam, dan bergabung dengan teman-teman kecilnya di luar sana. Karena lelah dan sedih, aku mulai menangis. Kenapa Kiko? Haruskah aku menghabiskan hariku tanpa sahabat lagi? Kenapa kehidupan di luar sana lebih menarik bagimu dibanding menemaniku mengutak-atik laptopku setiap malam? Mengapa kehidupan di luar sana lebih menarik daripada menemaniku membaca buku setiap malam? Ah Kiko....

Ku langkahkan kaki ke teras depan rumah, tempat aku bertemu teman-teman Kiko beberapa hari yang lalu. Langit bersih tak berselimut awan. Bulan nampak utuh di langit. Angin bertiup semilir, dan aku merasa sendiri. Sepi.

Air mataku masih menetes satu-satu. Semuanya jadi terasa kabur. Aku rindu Kiko.

Tiba-tiba suaraku menangkap nyanyian yang bersahut-sahutan. Aku menatap berkeliling. Itu suara kodok-kodok kecil yang bernyanyi, memuja sang malam dan rembulan yang bersinar sempurna. Suara-suara yang sangat bahagia.

Di balik batu, seekor kodok meloncat mendekat. Aku mengusap air mata di pipiku. Tidak salah lihatkah aku? Itu Kiko. Ya...Kiko dengan kakinya yang tidak sempurna, tapi mampu meloncat dengan sempurna. Kiko, apakah kamu kembali karena kasihan padaku?

Aku melangkah maju, tapi kakiku seperti tertahan untuk mendekati Kiko. Matanya menatapku, sama seperti hari-hari yang lalu. Selalu bersahabat, tapi kali ini tatapan matanya tampak lebih bahagia, walau tanpa kata-kata. Dia menatapku lama, setelah itu membalikkan badannya dan meloncat pergi. Kudengar ia bernyanyi riang.

Ya Allah, aku mengusap dadaku. Setitik kesadaran muncul dalam hatiku. Betapa egoisnya aku yang hanya memikirkan diriku sendiri. Bersamaku Kiko tidak pernah bernyanyi memuja sang malam. Bersamaku Kiko tidak pernah meloncat gembira. Bersama Kiko aku mempunyai seorang sahabat, tapi sesungguhnya dia tidak punya siapa-siapa. Hidupnya dan keluarganya bukan di antara dinding-dinding kamarku, tapi di alam bebas. Tempat dia bisa bernyanyi riang setiap malam, dan berburu serangga bersama teman-temannya.

Aku sudah menjadi manusia egois yang hanya ingin menuruti kata hatiku, tapi tidak pernah memahami perasaan makhluk lain seperti Kiko.

Kiko, kodok kecil yang berkaki tidak sempurna, berani menyempurnakan hidupnya dengan sebuah loncatan kecil dan kembali ke dunianya di alam bebas. Kiko, kodok kecil yang sangat bersahabat, berani keluar dari daerah amannya dan mengambil resiko untuk semua yang mungkin ditemuinya di luar sana, demi kebahagiaan terbesar yang dia inginkan.

Aku mengusap tetes air mata terakhir yang menggenang di sudut mataku. Ternyata aku tidak sebanding dengan Kiko. Aku masih mengurung diri disini dengan segunung ketakutan tak beralasan, hanya karena berpikir aku tidak bisa fight menghadapi kehidupan di luar sana. Aku masih memanjakan ketakutan tak beralasan hanya karena kehilangan sahabat dan saudara. Aku tak berani mengambil resiko dan peluang untuk mendapatkan sahabat-sahabat baru, dan saudara-saudara yang baru, hanya karena terlalu takut suatu saat mereka pun akan meninggalkan dan berpaling dariku.

Melihat keberanian Kiko, muncul juga segunung keberanian dalam diriku. Kiko mengajarkan kepadaku tentang arti persahabatan dan hidup yang sesungguhnya. Kiko mengajarkan aku tentang arti sebuah keberanian, langkah awal untuk memulai hidup yang lebih baik.

Terima kasih, Kiko. Terima kasih untuk pelajaran berharga yang kau berikan padaku hari ini.


(Aku masih sering berdiri sendiri di teras rumahku, dan mendengarkan suara kodok bernyanyi di malam hari. Walau tidak pernah bertemu Kiko lagi, aku yakin mendengar suaranya diantara penyanyi-penyanyi alam itu.

Aku masih sering merindukan Kiko. Tapi aku yakin, dimanapun dia berada, dia akan menjadi kodok yang bahagia. Dan akupun belajar untuk menjadi bahagia dalam hidupku.)

Rabu, 3 Juli 2012, 09.00 pm

Senin, 18 Juni 2012

Ayunan Tradisional Bambu dari Kabupaten Mamuju

Ayunan tradisional dari Kecamatan Kalukku, Kab. Mamuju. Terbuat dari rangkaian bambu yang diikat tali. Cara memainkannya dengan bantuan tali untuk mengayunkan pemainnya.

Kamis, 07 Juni 2012

Pulau Karampuang Mamuju

Minggu, 3 Juni 2012

Jam lima sudah bangun. Penuh semangat dan keceriaan yang amat sangat luar biasa. The day before 39th. Betapa kadang suka lupa diri kalo umur sudah nggak muda lagi. But who's care?

Janjian jam 7.30 pagi. Mbak Nayla, sang Event Organizer untuk acara jalan-jalan ini sudah wanti-wanti nggak ada yang boleh telat.

Aku sudah siap beraksi dengan baju renang andalan. Tapi demi kesopanan dan tidak menyinggung siapapun, terpaksa baju renang ngumpet di balik kaos dan celana pendek. Ya gitu deh.....aku nggak mau jadi objek wisata juga disitu. Jadi tontonan gratis penduduk lokal.....


Perahu antar pulau dari Mamuju ke Karampuang. Jarak tempuh sekitar 10 s.d 15 menit. Biaya Rp.10.000 pp/orang

Tempat sandar perahu dari kejauhan

Semakin mendekat. Asyyiiiiiiik.......


Semakin dekat, tambah berdebar-debar. sudah lama nggak jalan-jalan ke pulau sih. Yang dikhawatirkan bukan ombak laut, tapi gagal perawatan dan menghitamnya kulit. Tapi hari ini aku tidak peduli. Nggak mau pusing masalah kulit yang menghitam..


Makan dulu ah.....
Jauh-jauh ke Pulau, yang dicari tiang listrik untuk background foto bareng....



Walau yang lain nggak siap untuk berenang, aku sudah sangat siap dengan properti renang yang tersembunyi di balik kaos. Maklum aja....nggak siap mental jadi bahan tontonan dengan baju renang yang super sexy...(hoeks...hoeks...)



Panic's attack..... dah lama nggak berenang, apalagi di laut...

Finally.....berhasil menguasai keadaan, dan yang terpenting nggak pake acara tenggelam!


Aku layak dapat bintang......# bintang laut....#


Formasi landak laut. Hati-hati kalau berjalan di laut yang agak dangkal...

Akhirnya...setelah lelah berenang kesana kemari, capek juga. Ganti baju, makan lagi,terus pulang. Sampai di kesempatan berikutnya ya! 
# semoga masih punya cadangan semangat untuk berenang lagi...

Anak pantai versi Bollywood. Nyari tiang yang banyak tulisan nama dan ungkapan cinta...

Pantai Karampuang...

Dermaga. Papan-papannya banyak yang bolong-bolong.Kudu ekstra hati-hati kalo mau naik turun perahu...

Bye....
 

Sabtu, 28 April 2012

Satu Sore di Pinggir Pantai Mamuju

Sabtu, 29.04.2012, 08.00 pm

Tanpa kita sadari,
Pantai tidak akan pernah menghilangkan  kenangan terindah dalam hidup kita....
Itulah kenapa aku selalu datang ke pantai...

Satu sore. Terlewati lagi. Tapi kali ini aku tidak sendiri. Berdua dengan Lukman, anak seorang teman yang baru kelas tiga SD. Nongkrong berdua, ngabisin waktu di anjungan pantai Manakarra. Sambil menonton truk pengangkut timbunan mondar-mandir menimbun pantai untuk reklamasi pantai tahap dua, Sambil menonton perahu nelayan mondar mandir entah mau kemana.

Satu sore di pinggir pantai. Dua orang anak kecil, usianya tidak lebih dari enam tahun, asyik bermain berdua. Orang tuanya yang berjualan mie goreng di sebelah penjual kelapa muda tempatku nongkrong sore ini. Masing-masing menggendong seekor kucing. Yang perempuan menggendong seekor kucing berwarna orange, yang laki-laki kucing berwarna hitam. Anak perempuan itu berambut pendek, lurus, berponi, Mukanya lucu dan ceria. Dipeluknya dengan sayang kucing orange itu, dan berkata, "Kucingku namanya si manis. Dia anakku yang paling lucu..." sambil diciumnya kepala sang kucing dengan kelembutan seorang ibu yang mungkin sering diterima dari bundanya. Aku tidak dapat menahan senyum melihatnya.

Di parkiran, seorang lelaki gondrong asyik mengatur motor-motor yang berdatangan. Kulitnya hitam terbakar matahari pantai yang ganas. Rambutnya berombak kecil, berantakan. Tapi wajahnya selalu tersenyum. Matanya menatap penuh rasa bersahabat pada siapa saja yang bertatapan dengannya. Aku kembali tersenyum. Untuk kesekian kalinya di sore ini.

Satu sore di pinggir pantai. Dulu sekali, pantai ini masih menyisakan hamparan pantai . Tempat anak-anak dan orang tua berjalan bergandengan di pasirnya. Tempat tawa ceria anak-anak kecil bersaing dengan deburan ombaknya. Tempat wajah mungil kanak-kanak itu menatap penuh protes saat aku mengajak mereka pulang, karena aroma laut yang bersahabat telanjur memikat hati mereka.

Satu sore di pinggir pantai. Kelak, aku hanya bisa bercerita kepada anak-anakku. Nak, di tempat ini dahulu kalian belajar untuk berlari dan mencintai pasir laut yang bermain di telapak kaki kalian. Di tempat ini kalian belajar untuk mencintai laut, belajar mencintai hangatnya udara sore berangin yang selalu sama dimanapun kalian berada.

Satu sore di pinggir pantai. Kelak pantai ini akan hilang, berganti dengan setumpuk timbunan. Tapi tawa ceria kanak-kanak yang bersaing dengan suara ombak yang memecah pantai tidak akan pernah hilang. Abadi, terekam dalam gulungan ombak yang pecah, mengirimkan pesan penuh cinta kepada mereka, dimanapun mereka berada. Di belahan bumi yang lain, di pinggir pantai yang lain....

Minggu, 22 April 2012

Sahabat Kecilku KIKO....


Minggu, 22 April 2012, 8.30 am

Saat hidup menjadi tidak bersahabat,
Tuhan mengirimkan seorang sahabat untuk menemani

Sudah beberapa kali aku bertemu dengannya. Tanpa suara, tanpa kata-kata. Dia hanya menatapku tajam. Tidak ada sedikitpun rasa takut saat pertama kali bertemu denganku. Aku juga tidak berkomentar apa-apa, hanya menatapnya sedikit, setelah itu berlalu.

Beberapa hari kemudian, aku bertemu lagi dengannya. Dia bergeser sedikit, seolah memberi jalan untukku agar dapat membuka pintu kamar mandi. Aku tersenyum kecil. Anak kecil ini sudah mulai berani bermain dalam kamar tidurku. Aku menatapnya dengan tatapan jenaka, berharap dia tahu kalau aku tidak keberatan dia bermain di kamarku. Dia balas menatap, setelah itu memalingkan wajah tak peduli. Tanpa rasa takut sedikitpun! Aku tersenyum takjub.

Berulang beberapa kali. Tidak terbersit sedikitpun dalam hatiku untuk menyuruhnya pergi, atau sekedar bertanya dimana rumahnya, dimana mama dan papanya. Setelah itu semakin sering aku melihatnya bermain di kamarku. Kadang berdiri di sudut kamarku, kadang bersembunyi dalam kamar mandi, kadang di depan tv yang memutar film-film kesukaanku di Universal Channel. Seperti biasa, dia tidak bersuara, hanya menatapku tajam.

Lama-lama aku jadi terbiasa dengan kehadirannya. Dalam sepi, tanpa suara, tapi membuatku tersadar bahwa bukan aku sendiri yang berada dalam kamar ini. 

Lama-lama aku mulai merasa kehilangan saat tidak melihatnya. Mulai bertanya-tanya, akankah dia kembali mengunjungiku dan bermain di kamarku? Mulailah masa-masa menanti bila dia tidak muncul. Mulai bertanya, apakah mama papanya melarang dia bermain hari ini? Ataukah ada hambatan lain di jalan sehingga dia tidak muncul kembali? 

Rasa syukur dan senang selalu ada saat melihatnya kembali. Seperti  siang ini, saat melihatnya muncul dan menatapku tanpa berkedip. Lama. Akupun mulai menatapnya lebih teliti. Siapa namamu, sahabat? Kamu tidak pernah menyebutkan namamu. Bolehkan aku memberimu nama KIKO? Sangat sesuai untukmu, kecil dan lucu. 

Aku berjalan menghampirimu, sesuatu yang tidak pernah kulakukan. Selama ini ada peraturan tak tertulis antara kita, kita hanya boleh saling memandang, saling menatap, tapi harus ada jarak antara kita. Tanpa sentuhan, tanpa belaian. Hanya boleh menatap.

Aku memandangmu dalam dekat. Matamu yang berani menatapku tak peduli, tak ada pancaran rasa takut disana. Justru membuatku nyaman. Artinya kamu bisa menerimaku sebagai teman. Sesaat sesuatu membuat aku menahan nafas. Kakimu sebelah kanan. Nampak mengecil tak berbentuk, seperti daun kering berwarna coklat. Siapa yang tega melakukan ini padamu? Aku menatapmu sedih. Kakimu seperti terjepit disuatu tempat dalam waktu lama, mengering dan tidak bisa tumbuh kembali. Apakah rasa sakit yang kamu rasakan itu yang membuatmu mempunyai kekuatan dan keberanian yang lebih dalam hidupmu? Kamu bahkan tidak takut padaku…

Aku menatapmu lama, sedikit sedih, namun aku yakin kamu tidak ingin melihat rasa iba dalam mataku. Sedikit rasa sayang mulai tumbuh dalam hatiku. Berjuta kagum muncul saat aku sadar kamu dikirim Tuhan kemari bukan hanya untuk menemani sepiku, tapi juga untuk menyadarkanku, membuatku menerima dan belajar darimu. Bahwa Tuhan memberikan rasa sakit untuk menumbuhkan sejuta kekuatan dan keberanian yang tidak kita sadari, bahwa kita miliki. Dalam diriku saat ini, melalui kehadiranmu, Kiko.

Aku menahan keinginan untuk membelai kepalamu pelan. Aku tidak ingin merusak kepercayaan terdalam yang sudah tumbuh antara kita. Aku akan selalu menunggumu datang, kapanpun kamu mau. Saat duniamu diluar sana mungkin sedikit tidak bersahabat untukmu, datanglah. Aku akan selalu ada untukmu. Aku akan selalu membuka hatiku untukmu, sesuatu yang hanya bisa kudapat darimu, saat dinding begitu tinggi di luar sana untukku. 

Terima kasih, Kiko

(Kiko adalah seekor kodok kecil berwarna coklat, dengan sedikit bintik hitam di tubuhnya, yang suatu hari tersesat dalam kamarku. Entah dia masuk dari mana. Dari pintu yang sering kubiarkan terbuka, atau dari saluran air di kamar mandiku? Entahlah. Dia yang menemaniku terjaga di malam-malam saat rasa kantuk begitu mahal. Dia yang menemaniku saat kepenatan begitu penuh dan tumpah dalam kebosanan yang tak tertahankan. Dia juga yang menyadarkanku untuk menjadi kuat dan bersyukur dalam hidup. Dia Kiko, seekor kodok kecil, sahabatku.)


RACUN

4 Mei 2023 Pagi tadi ngobrol dengan seorang teman yang berkunjung di ruangan. Tentang perempuan, hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Ka...