Minggu, 22 April 2012, 8.30 am
Saat hidup menjadi tidak bersahabat,
Tuhan mengirimkan seorang sahabat untuk menemani…
Sudah
beberapa kali aku bertemu dengannya. Tanpa suara, tanpa kata-kata. Dia hanya
menatapku tajam. Tidak ada sedikitpun rasa takut saat pertama kali bertemu
denganku. Aku juga tidak berkomentar apa-apa, hanya menatapnya sedikit, setelah
itu berlalu.
Beberapa
hari kemudian, aku bertemu lagi dengannya. Dia bergeser sedikit, seolah memberi
jalan untukku agar dapat membuka pintu kamar mandi. Aku tersenyum kecil. Anak
kecil ini sudah mulai berani bermain dalam kamar tidurku. Aku menatapnya dengan
tatapan jenaka, berharap dia tahu kalau aku tidak keberatan dia bermain di
kamarku. Dia balas menatap, setelah itu memalingkan wajah tak peduli. Tanpa
rasa takut sedikitpun! Aku tersenyum takjub.
Berulang
beberapa kali. Tidak terbersit sedikitpun dalam hatiku untuk menyuruhnya pergi,
atau sekedar bertanya dimana rumahnya, dimana mama dan papanya. Setelah itu
semakin sering aku melihatnya bermain di kamarku. Kadang berdiri di sudut
kamarku, kadang bersembunyi dalam kamar mandi, kadang di depan tv yang memutar
film-film kesukaanku di Universal Channel. Seperti biasa, dia tidak bersuara,
hanya menatapku tajam.
Lama-lama
aku jadi terbiasa dengan kehadirannya. Dalam sepi, tanpa suara, tapi membuatku
tersadar bahwa bukan aku sendiri yang berada dalam kamar ini.
Lama-lama
aku mulai merasa kehilangan saat tidak melihatnya. Mulai bertanya-tanya,
akankah dia kembali mengunjungiku dan bermain di kamarku? Mulailah masa-masa
menanti bila dia tidak muncul. Mulai bertanya, apakah mama papanya melarang dia
bermain hari ini? Ataukah ada hambatan lain di jalan sehingga dia tidak muncul
kembali?
Rasa
syukur dan senang selalu ada saat melihatnya kembali. Seperti siang ini, saat melihatnya muncul dan
menatapku tanpa berkedip. Lama. Akupun mulai menatapnya lebih teliti. Siapa
namamu, sahabat? Kamu tidak pernah menyebutkan namamu. Bolehkan aku memberimu
nama KIKO? Sangat sesuai untukmu, kecil dan lucu.
Aku
berjalan menghampirimu, sesuatu yang tidak pernah kulakukan. Selama ini ada
peraturan tak tertulis antara kita, kita hanya boleh saling memandang, saling
menatap, tapi harus ada jarak antara kita. Tanpa sentuhan, tanpa belaian. Hanya
boleh menatap.
Aku
memandangmu dalam dekat. Matamu yang berani menatapku tak peduli, tak ada
pancaran rasa takut disana. Justru membuatku nyaman. Artinya kamu bisa
menerimaku sebagai teman. Sesaat sesuatu membuat aku menahan nafas. Kakimu
sebelah kanan. Nampak mengecil tak berbentuk, seperti daun kering berwarna
coklat. Siapa yang tega melakukan ini padamu? Aku menatapmu sedih. Kakimu
seperti terjepit disuatu tempat dalam waktu lama, mengering dan tidak bisa
tumbuh kembali. Apakah rasa sakit yang kamu rasakan itu yang membuatmu
mempunyai kekuatan dan keberanian yang lebih dalam hidupmu? Kamu bahkan tidak
takut padaku…
Aku
menatapmu lama, sedikit sedih, namun aku yakin kamu tidak ingin melihat rasa iba
dalam mataku. Sedikit rasa sayang mulai tumbuh dalam hatiku. Berjuta kagum
muncul saat aku sadar kamu dikirim Tuhan kemari bukan hanya untuk menemani
sepiku, tapi juga untuk menyadarkanku, membuatku menerima dan belajar darimu.
Bahwa Tuhan memberikan rasa sakit untuk menumbuhkan sejuta kekuatan dan
keberanian yang tidak kita sadari, bahwa kita miliki. Dalam diriku saat ini,
melalui kehadiranmu, Kiko.
Aku
menahan keinginan untuk membelai kepalamu pelan. Aku tidak ingin merusak
kepercayaan terdalam yang sudah tumbuh antara kita. Aku akan selalu menunggumu datang,
kapanpun kamu mau. Saat duniamu diluar sana mungkin sedikit tidak bersahabat
untukmu, datanglah. Aku akan selalu ada untukmu. Aku akan selalu membuka hatiku
untukmu, sesuatu yang hanya bisa kudapat darimu, saat dinding begitu tinggi di
luar sana untukku.
Terima
kasih, Kiko
(Kiko adalah seekor kodok kecil
berwarna coklat, dengan sedikit bintik hitam di tubuhnya, yang suatu hari
tersesat dalam kamarku. Entah dia masuk dari mana. Dari pintu yang sering
kubiarkan terbuka, atau dari saluran air di kamar mandiku? Entahlah. Dia yang
menemaniku terjaga di malam-malam saat rasa kantuk begitu mahal. Dia yang
menemaniku saat kepenatan begitu penuh dan tumpah dalam kebosanan yang tak
tertahankan. Dia juga yang menyadarkanku untuk menjadi kuat dan bersyukur dalam
hidup. Dia Kiko, seekor kodok kecil, sahabatku.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar