Sabtu, 28 April 2012

Satu Sore di Pinggir Pantai Mamuju

Sabtu, 29.04.2012, 08.00 pm

Tanpa kita sadari,
Pantai tidak akan pernah menghilangkan  kenangan terindah dalam hidup kita....
Itulah kenapa aku selalu datang ke pantai...

Satu sore. Terlewati lagi. Tapi kali ini aku tidak sendiri. Berdua dengan Lukman, anak seorang teman yang baru kelas tiga SD. Nongkrong berdua, ngabisin waktu di anjungan pantai Manakarra. Sambil menonton truk pengangkut timbunan mondar-mandir menimbun pantai untuk reklamasi pantai tahap dua, Sambil menonton perahu nelayan mondar mandir entah mau kemana.

Satu sore di pinggir pantai. Dua orang anak kecil, usianya tidak lebih dari enam tahun, asyik bermain berdua. Orang tuanya yang berjualan mie goreng di sebelah penjual kelapa muda tempatku nongkrong sore ini. Masing-masing menggendong seekor kucing. Yang perempuan menggendong seekor kucing berwarna orange, yang laki-laki kucing berwarna hitam. Anak perempuan itu berambut pendek, lurus, berponi, Mukanya lucu dan ceria. Dipeluknya dengan sayang kucing orange itu, dan berkata, "Kucingku namanya si manis. Dia anakku yang paling lucu..." sambil diciumnya kepala sang kucing dengan kelembutan seorang ibu yang mungkin sering diterima dari bundanya. Aku tidak dapat menahan senyum melihatnya.

Di parkiran, seorang lelaki gondrong asyik mengatur motor-motor yang berdatangan. Kulitnya hitam terbakar matahari pantai yang ganas. Rambutnya berombak kecil, berantakan. Tapi wajahnya selalu tersenyum. Matanya menatap penuh rasa bersahabat pada siapa saja yang bertatapan dengannya. Aku kembali tersenyum. Untuk kesekian kalinya di sore ini.

Satu sore di pinggir pantai. Dulu sekali, pantai ini masih menyisakan hamparan pantai . Tempat anak-anak dan orang tua berjalan bergandengan di pasirnya. Tempat tawa ceria anak-anak kecil bersaing dengan deburan ombaknya. Tempat wajah mungil kanak-kanak itu menatap penuh protes saat aku mengajak mereka pulang, karena aroma laut yang bersahabat telanjur memikat hati mereka.

Satu sore di pinggir pantai. Kelak, aku hanya bisa bercerita kepada anak-anakku. Nak, di tempat ini dahulu kalian belajar untuk berlari dan mencintai pasir laut yang bermain di telapak kaki kalian. Di tempat ini kalian belajar untuk mencintai laut, belajar mencintai hangatnya udara sore berangin yang selalu sama dimanapun kalian berada.

Satu sore di pinggir pantai. Kelak pantai ini akan hilang, berganti dengan setumpuk timbunan. Tapi tawa ceria kanak-kanak yang bersaing dengan suara ombak yang memecah pantai tidak akan pernah hilang. Abadi, terekam dalam gulungan ombak yang pecah, mengirimkan pesan penuh cinta kepada mereka, dimanapun mereka berada. Di belahan bumi yang lain, di pinggir pantai yang lain....

Minggu, 22 April 2012

Sahabat Kecilku KIKO....


Minggu, 22 April 2012, 8.30 am

Saat hidup menjadi tidak bersahabat,
Tuhan mengirimkan seorang sahabat untuk menemani

Sudah beberapa kali aku bertemu dengannya. Tanpa suara, tanpa kata-kata. Dia hanya menatapku tajam. Tidak ada sedikitpun rasa takut saat pertama kali bertemu denganku. Aku juga tidak berkomentar apa-apa, hanya menatapnya sedikit, setelah itu berlalu.

Beberapa hari kemudian, aku bertemu lagi dengannya. Dia bergeser sedikit, seolah memberi jalan untukku agar dapat membuka pintu kamar mandi. Aku tersenyum kecil. Anak kecil ini sudah mulai berani bermain dalam kamar tidurku. Aku menatapnya dengan tatapan jenaka, berharap dia tahu kalau aku tidak keberatan dia bermain di kamarku. Dia balas menatap, setelah itu memalingkan wajah tak peduli. Tanpa rasa takut sedikitpun! Aku tersenyum takjub.

Berulang beberapa kali. Tidak terbersit sedikitpun dalam hatiku untuk menyuruhnya pergi, atau sekedar bertanya dimana rumahnya, dimana mama dan papanya. Setelah itu semakin sering aku melihatnya bermain di kamarku. Kadang berdiri di sudut kamarku, kadang bersembunyi dalam kamar mandi, kadang di depan tv yang memutar film-film kesukaanku di Universal Channel. Seperti biasa, dia tidak bersuara, hanya menatapku tajam.

Lama-lama aku jadi terbiasa dengan kehadirannya. Dalam sepi, tanpa suara, tapi membuatku tersadar bahwa bukan aku sendiri yang berada dalam kamar ini. 

Lama-lama aku mulai merasa kehilangan saat tidak melihatnya. Mulai bertanya-tanya, akankah dia kembali mengunjungiku dan bermain di kamarku? Mulailah masa-masa menanti bila dia tidak muncul. Mulai bertanya, apakah mama papanya melarang dia bermain hari ini? Ataukah ada hambatan lain di jalan sehingga dia tidak muncul kembali? 

Rasa syukur dan senang selalu ada saat melihatnya kembali. Seperti  siang ini, saat melihatnya muncul dan menatapku tanpa berkedip. Lama. Akupun mulai menatapnya lebih teliti. Siapa namamu, sahabat? Kamu tidak pernah menyebutkan namamu. Bolehkan aku memberimu nama KIKO? Sangat sesuai untukmu, kecil dan lucu. 

Aku berjalan menghampirimu, sesuatu yang tidak pernah kulakukan. Selama ini ada peraturan tak tertulis antara kita, kita hanya boleh saling memandang, saling menatap, tapi harus ada jarak antara kita. Tanpa sentuhan, tanpa belaian. Hanya boleh menatap.

Aku memandangmu dalam dekat. Matamu yang berani menatapku tak peduli, tak ada pancaran rasa takut disana. Justru membuatku nyaman. Artinya kamu bisa menerimaku sebagai teman. Sesaat sesuatu membuat aku menahan nafas. Kakimu sebelah kanan. Nampak mengecil tak berbentuk, seperti daun kering berwarna coklat. Siapa yang tega melakukan ini padamu? Aku menatapmu sedih. Kakimu seperti terjepit disuatu tempat dalam waktu lama, mengering dan tidak bisa tumbuh kembali. Apakah rasa sakit yang kamu rasakan itu yang membuatmu mempunyai kekuatan dan keberanian yang lebih dalam hidupmu? Kamu bahkan tidak takut padaku…

Aku menatapmu lama, sedikit sedih, namun aku yakin kamu tidak ingin melihat rasa iba dalam mataku. Sedikit rasa sayang mulai tumbuh dalam hatiku. Berjuta kagum muncul saat aku sadar kamu dikirim Tuhan kemari bukan hanya untuk menemani sepiku, tapi juga untuk menyadarkanku, membuatku menerima dan belajar darimu. Bahwa Tuhan memberikan rasa sakit untuk menumbuhkan sejuta kekuatan dan keberanian yang tidak kita sadari, bahwa kita miliki. Dalam diriku saat ini, melalui kehadiranmu, Kiko.

Aku menahan keinginan untuk membelai kepalamu pelan. Aku tidak ingin merusak kepercayaan terdalam yang sudah tumbuh antara kita. Aku akan selalu menunggumu datang, kapanpun kamu mau. Saat duniamu diluar sana mungkin sedikit tidak bersahabat untukmu, datanglah. Aku akan selalu ada untukmu. Aku akan selalu membuka hatiku untukmu, sesuatu yang hanya bisa kudapat darimu, saat dinding begitu tinggi di luar sana untukku. 

Terima kasih, Kiko

(Kiko adalah seekor kodok kecil berwarna coklat, dengan sedikit bintik hitam di tubuhnya, yang suatu hari tersesat dalam kamarku. Entah dia masuk dari mana. Dari pintu yang sering kubiarkan terbuka, atau dari saluran air di kamar mandiku? Entahlah. Dia yang menemaniku terjaga di malam-malam saat rasa kantuk begitu mahal. Dia yang menemaniku saat kepenatan begitu penuh dan tumpah dalam kebosanan yang tak tertahankan. Dia juga yang menyadarkanku untuk menjadi kuat dan bersyukur dalam hidup. Dia Kiko, seekor kodok kecil, sahabatku.)


RACUN

4 Mei 2023 Pagi tadi ngobrol dengan seorang teman yang berkunjung di ruangan. Tentang perempuan, hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Ka...