Minggu, 19 Oktober 2014, 04.40 pm
Jogja itu selalu ngangenin. Pagi hari di
Malioboro, pengendara sepeda yang membelah pagi, bubur ayam dan sarapan gudeg
di seputar Malioboro Mall, sungguh amat ngangenin.
Teh herbal di resto hotel. Lengkap dengan daun-daun kering yang menambah cita rasa dan manfaat teh hangat ini di pagi hari. |
Jejeran becak dan andong di jalan Malioboro |
Sarapan bubur ayam di angkringan depan Malioboro Mall. Anak kecil yang duduk di sebelahku ini sedang berlibur juga dengan orang tuanya. |
Mbah penjual gado-gado berambut putih ini selalu menghias Malioboro di pagi hari. Siapa bilang orang Indonesia pemalas? |
Pasukan gowes. Sebelumnya ada yang berkostum unik ala tentara 45. Sayang tidak sempat ngambil gambar. |
Lesehan di teras Malioboro Mall. Malamnya ada konser Vierra yang dipadati ABG pencinta Vierra. |
Satu ritual yang selalu aku lakukan saat
wasting time di Jogja selain menyusuri Malioboro dan berburu pernak pernik unik
dan makanan tradisional adalah membuat tattoo temporer. Kalo di Bali saat di
Kuta atau di Tanah Lot, maka di Jogja
adalah saat di Malioboro. Malam hari saat yang tepat (dan romantis) untuk
membuat tattoo. Seniman-seniman jalanan dengan buku berisi contoh-contoh tattoo
dengan gambar yang memiliki tingkat kesulitan berbeda, selalu ramah menawarkan
jasanya.
Tapi saat aku terakhir ke Jogja tanggal 28 September kemarin,
seniman tattoo justru kutemui di pagi hari, saat pulang sarapan di seputar
Malioboro Mall. Ternyata hari Minggu dan banyaknya rangkaian acara dalam rangka
ulang tahun Jogja membuat para pedagang kaki lima di Malioboro sudah menggelar
dagangannya di pagi hari. Jadilah sebuah tattoo di pergelangan tangan kananku.
Sekarang saat aku membuat tattoo, yang
terbayang adalah wajah Kakak dan Adek. Dua lelaki kecilku itu mulai menggemari
tattoo sebagai hiasan tubuhnya. Bahkan Kakak sudah meminta ijin padaku untuk
membuat tattoo permanen saat dewasa nanti. Yaach….tidak masalah sih. Tapi untuk
sebuah tattoo permanen yang akan merusak kulit halusmu, Nak, Mommy akan
memberikan daftar persyaratan yang cukup banyak kelak. Jadi berpuas dululah
dengan tattoo temporer ya sayang.
Selain tattoo, ada lagi hal unik yang aku
temui saat makan soto ayam di sebuah warung sederhana yang memiliki pelanggan
dengan antrian mobil yang cukup panjang di suatu siang. Warung Soto Kadipiro.
Bila
hanya datang sendiri, berdua atau bertiga, kita harus cukup sabar untuk berbagi
meja dengan orang lain. Karena warung itu tidak pernah sepi. Ayam kampungnya
sangat enak. Diracik dengan bumbu kuning. Tapi soto ayamnya untuk ukuran
lidahku yang terbiasa di Sulawesi terlalu bercita rasa manis. Khas Jogja. Untungnya
aku tidak terlalu pilih-pilih dan fanatik dengan satu jenis cita rasa makanan. Itulah
sisi positifnya tinggal di asrama bertahun-tahun saat kuliah dan tidak punya
banyak alternative makanan. Aku jadi merasa dimanja saat bertemu aneka rasa
makanan.
Balik lagi ke hal unik tadi, yang aku temui
adalah sejenis minuman limun dengan tutup botol yang unik.
Botol limun dengan tutup unik. |
Konon botol isi
ulang itu sudah ada sejak jaman Belanda, dan terus berkurang karena menjadi
incaran kolektor atau karena pecah. Sayangnya aku tidak ingin mencoba limun
dalam botol itu. Secangkir kopi luwak asli yang masih mengepul dengan aroma
yang khas lebih menarik perhatianku di siang itu.
Jadi pengen ke Jogja lagi.....
Kopi Luwak. Satu cangkir harganya Rp.35.000. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar