17 Pebruari 2018
Pagi-pagi bangun langsung
mandi. Matahari pagi pertama di Toraja. Hari ini full schedule untuk
jalan-jalan di Makale. Selesai mandi trus nanya-nanya ke mbak resepsionis,
objek wisata apa yang paling dekat dari hotel. Mbaknya menyarankan ke Ke’te
Kesu saja, trus lanjut ke Buntu Londa. Jalurnya searah jadi nggak ribet bolak
balik. Ok deh kalo gitu. Kemas barang langsung check out. Kami tidak sarapan di
hotel. Pengen nyari makanan di luar saja sambil jalan menuju Ke’te Kesu.
Berkendara sekitar 15
menit, kami ketemu satu kafe kecil di pinggir jalan. Namanya Kafe Restkimb.
Singgah dulu untuk ngopi dan makan pisang goreng. Setelah hampir 5 bulan nggak
ngopi, pagi itu saya mendadak jadi pengen ngopi. Suasananya asyik banget untuk
ngopi. Dari dalam kafe dengan dekorasi Toraja yang kental itu, kita bisa
melihat view persawahan di sampingnya. Kebayang kan indahnya. Serasa ngopi di
tengah sawah. Saya mesan satu kopi Toraja Robusta hitam tanpa gula. Rasanya
nikmat banget. Ternyata saya belom lupa gimana rasanya kopi yang enak walau
sudah lima bulan stop ngopi.
View sawah dari dalam kafe |
Sebenarnya saya dah
ngurangin jatah ngopi jadi sehari hanya sekali. Sebelumnya saya sanggup
ngabisin 3 sampe 5 gelas sehari. Tapi belakangan saya merasa emosi jadi
memburuk. Saya mudah marah dan tertekan. Mungkin saja karena suasana kantor
yang kurang nyaman, tapi kopi yang jadi kambing hitam. Ditambah lagi beberapa
hari kemudian jari-jari saya mulai bergetar tanpa saya mampu untuk
menghentikan. No no no….. saya langsung berhenti ngopi. Dan Alhamdulillah I
feel better. Jari yang bergetar tidak muncul lagi, emosi juga relatif lebih
stabil dan terkontrol. Lebih bersyukur lagi saat berhenti ngopi saya tidak
mengalami gejala coffee addicted seperti sakit kepala yang berlebihan dan
keinginan ingin marah-marah seperi perempuan menjelang haid. Semua wajar-wajar
saja.
Saya menyeruput kopi
yang masih mengepul panas itu pelan-pelan. Menikmati setiap tetes kafein yang
menghangatkan tubuh dan memberikan semangat baru pada pagi itu. Perasaan bahagia
menjalar ke seluruh sendi. Perasaan penuh cinta yang selama ini tersimpan rapat
jauh di lubuk hati. Semua hadir kembali. Kopiku telah berubah makna. Dari catatan
panjang perjalanan penuh lara, menjadi catatan baru penuh cinta.
Saya menyeruput perlahan
lagi sambil menikmati harum aroma kopi yang masih baru, trus mengunyah potongan
pisang goreng yang tidak kalah panasnya (baru digoreng saat kami pesan). Pisang
goreng kemudian saya potong kecil-kecil supaya cepat dingin dan lebih mudah
makannya.
Bapak pemilik kafe yang
orang Toraja asli sangat ramah pada kami. Sambil ngobrol santai kami bertanya
tempat-tempat wisata apa lagi yang bisa kami kunjungi setelah dari Ke’te Kesu.
Rekomendasinya tetap Londa karena jaraknya paling dekat. Setelah itu ke
pemandian alam Tilanga. Cukup 3 destinasi saja karena sore kami harus jalan
lagi ke Pango Pango. Kami harus jalan sore supaya tidak tiba kemalaman disana.
Si Bapak owners Kafe Reskimb |
Setelah kopi habis, kami
pamit pada si Bapak owner kafe bersama istrinya yang ramah itu untuk lanjut ke
Ke’te Kesu. Oiya…. Toilet di Kafe Restkimb ini sangat bersih dengan air yang
terasa dingin dan segar. Trus di depannya ada pohon kersen dengan beberapa
buahnya yang masak kemerahan. Saya sempat metik satu sambil melompat tinggi
karena dahan-dahannya lumayan tak terjangkau. Jadi ingat masa kecil saat sering
berburu kersen, si buah ceri kampung itu, saat masih tinggal di Merauke.
Lanjut nih, berkendara
15 menit kami sudah tiba di pintu masuk Ke’te Kesu. Beli tiket masuk 15 ribu
rupiah untuk wisatawan local. Pertama masuk saya ketemu lagi satu coffee shop.
Namanya Toraja Red Beans Coffee Shop. Yang bikin saya terpesona karena ada kain
Sekomandi dijual disitu. Kain Sekomandi adalah kain tenun khas dari Kecamatan
Kalumpang Kabupaten Mamuju. Kalumpang, Toraja dan Mamasa sebenarnya masih
serumpun. Jadi banyak kemiripan dari segi kain tenunannya. Tapi masing-masing
punya ciri khas dan makna yang berbeda.
Tiket masuk lokasi wisata Ke'te Kesu di Makale Toraja |
Toraja Red Beans Coffee Shop |
Saya memang sering mendengar bahwa di Toraja, Mamasa dan Polewali Mandar kain Sekomandi banyak dijual dan dipakaikan identitas sebagai produk local sana. Kasihan juga sih. Karena Pemerintah Kabupaten Mamuju belum terlalu mesra menyapa dan membantu mempromosikan secara serius kain Sekomandi. Beberapa pengrajin yang saya temui saat pelaksanaan ekspo memang sering mengeluhkan sulitnya pemasaran. Akibatnya banyak yang berhenti produksi karena barang menumpuk tanpa pembeli. Satu selendang Sekomandi yang dipajang itu dijual seharga 250 ribu rupiah. Harganya sama dengan harga di tanah leluhurnya Kalumpang.
Deretan kain tenun Sekomandi |
Sekomandi |
Sambil masih prihatin dengan nasib kain Sekomandi, saya berjalan masuk mengagumi deretan tongkonan yang megah dan indah. Di bagian depan selalu ada deretan tanduk kerbau. Tanduk-tanduk itu adalah symbol berapa ekor tedong bonga atau kerbau belang albino yang sudah dipotong pada perayaan pesta penguburan untuk anggota keluarga pemilik tongkonan yang sudah meninggal. Semakin banyak tanduk kerbau yang dipasang, semakin tinggi status social keluarga pemilik tongkonan. Rumah tongkonan di kawasan ini didirikan oleh Puang Ri Kesu dan diwariskan secara turun temurun pada anak cucunya. Kompleks tongkonan ini menjadi cagar budaya dan sering juga dipakai untuk pelaksanaan Rambu Solo.
Deretan tongkonan yang mempesonaaaa..... |
Motif ukiran tongkonan
dan dominasi warna merah, putih, kuning dan hitam selalu membuat saya
terpesona dan menatap lama. Merah melambangkan darah, putih melambangkan tulang
manusia, kuning melambangkan kemuliaan dan reliji, dan hitam melambangkan duka
dan kematian. Masing-masing motif juga memiliki makna dan filosofi yang berbeda.
Apapun itu bagi saya yang nggak terlalu paham, ukiran dan motifnya tetap
terlihat indah,
Tongkonan sendiri ada 2
macam. Tongkonan yang difungsikan sebagai rumah dan tempat menyimpan jenazah
yang diawetkan untuk menunggu pelaksanaan Rambu Solo atau pesta kematian, dan
tongkonan yang difungsikan sebagai lumbung padi.
Saya ingat beberapa
tahun lalu waktu ke Toraja bersama teman-teman untuk memberikan penyuluhan
HIV/AIDS untuk anak-anak SMA se-Rantepao, saya berkunjung ke rumah tongkonan
teman ekspatriat yang menjadi dosen di Toraja. Tongkonan dengan atap bambu yang
sudah tua dan ditumbuhi tanaman liar itu nampak modern di bagian dalam. Ada tempat
tidur, wastafel, televise kecil, dan tumpukan buku-buku tebal. Keren. Sampai sekarang
masih sering berkhayal punya rumah tongkonan sendiri.
Lepas dari deretan
tongkonan yang berjejer behadap-hadapan, saya berjalan kaki masuk di antara
deretan kios-kios penjual souvenir. Ada kaos, tas berbahan kain printing
bermotif toraja, magnet kulkas, gelang, patung-patung, bahkan daster yang banyak
dijual di pasar Klewer Solo juga ada disini.
Souvenir patung dan tempat tissue. |
Baju perang ksatria Toraja. Tadinya pengen nyoba,
tapi gitu lihat salah satu asesoriesnya adalah gingsul babi, nggak jadi deh....
|
Jejeran penjual souvenir. |
Oleh-oleh tas. Modelnya mirip-mirip kalo beli oleh-oleh di Bali. |
Di area yang lebih ke dalam lagi, ada beberapa tongkonan yang digunakan untuk menyimpan jenazah. Ada satu yang berwarna merah dan kuning mencolok yang menarik perhatian saya. Konon motif dengan warna merah dan kuning itu adalah symbol dari matahari. Dari foto yang dipasang disitu ada 8 jenazah yang disemayamkan.
Naik lagi melewati
anak-anak tangga yang lumayan banyak. Disini adalah kuburan batu. Peti-peti jenazah di gantung berjejer di
atas gunung batu dan ditahan dengan menggunakan balok-balok. Bila peti dan
balok-balok mulai rapuh karena cuaca, jenazah yang tingga tulang belulang itu
berjatuhan ke bawah dan bercampur dengan tulang belulang yang sudah jatuh
duluan. Di sudut tampak onggokan tulang yang sudah campur baur. Entah tulang
mana berpasangan dengan siapa. Anehnya pemandangan itu tidak membuat saya
ngeri. Biasa saja. Beda kali ya kalo lihat tengkorak di dalam kamar……
Jaman kuliah dulu,
seorang teman cowok pernah mencuri tengkorak kepala dari sini. Dibawa jauh-jauh
cuma untuk dijadikan pajangan di meja belajarnya. Saya ngeri sekali waktu saat
main ke asramanya. Tatapan kosong dari lubang mata seolah menyampaikan kutukan.
Kita kan tidak pernah tahu rahasia di alam semesta. Saya sering menakut-nakuti
dia dengan cerita tentang kutukan dari arwah yang tidak rela tengkorak
kepalanya dipindahkan jauh dari kampung halaman. Teman saya cuma tertawa. Dan beberapa
perjalanan hidupnya banyak melenceng dari tujuan awal, termasuk kuliahnya yang
tidak selesai. Beberapa tahun kemudian saya bertemu lagi dengan teman yang itu.
Tapi saya tidak berani mengingatkan dan menghubungkan dengan kutukan arwah
pemilik tengkorak kepala. Kita hanya perlu respek pada sang pemilik. Walau kematian
telah menjemput, tapi pada masanya mereka adalah makhluk hidup juga yang
berjalan di muka bumi.
Balik lagi ke kuburan
batu, ada juga jenazah yang disimpan di dalam gua-gua buatan. Cuma saya tidak
masuk sampai ke bagian dalam. Cukup lihat-lihat dari luar saja. Lumayan melelahkan
jalan sampai ke bagian atas kuburan batu untuk emak-emak kayak saya. Penyebabnya
karena sudah agak lama nggak pernah lari pagi lagi. Stamina agak drop. Tapi lumayan
lah, anggap saja olahraga.
Puas lihat-lihat dan
foto-fotoan di kuburan batu dan tongkonan, kami sempat-sempatin foto lagi di
pintu keluar dengan view sawah dan tongkonan di kejauhan. Aduuuuh….. yang kayak
gini nih yang bikin saya makin jatuh cinta sama Toraja. Semua terasa indah.
Next Buntu Londa....
Numpang promo yahh...heheee..
BalasHapuskalau mau beli tenun tradisional seperti Sekomandi atau mau beli kopi atau sovenir Toraja, silakan mampir di lapak kami yah..
https://todi.co.id
salam...