Senin, 26 Februari 2018

Toraja 4 : Mbak GoMap yang menyesatkan saat ke Tilanga

17 Pebruari 2018
Tilanga itu wisata pemandian alam di daerah Makale Toraja. Yang ngasih rekomendasi tempat ini adalah Bapak Pemilik Kafe Restkimb saat kami singgah ngopi tadi pagi. Agak penasaran juga sih. Karena baru kali ini aku mendengar nama destinasi wisata yang satu ini. Arahnya juga nggak jelas. Yo wes seperti biasa buka aplikasi Google Map dengan panduan suara manja mbak GoMap.
Pertama arahnya masih bagus nih. Belok kiri belok kanan sesuai kenyataan. Setelah itu si Mbak ngarahin untuk belok kanan melalui jalan yang lumayan terjal mendaki, setelah itu putus dan cuma ada jalanan rumput. Perasaanku nggak enak nih. Perasaan tadi petunjuknya masih lumayan jauh, kok ini jalanan sudah terputus? Masa kami harus jalan kaki? Tapi tadi bener kok diarahkan untuk belok kesini….
Aku ngintip Map lagi. Lha…. jauh banget kalo harus jalan kaki. Mana sudah jam 3an lagi. Akhirnya kami mutusin untuk balik kanan saja balik ke mobil. Sambil menuruni jalan menuju mobil, ada suara-suara aneh dari arah kanan. Ternyata ada kandang babi disitu. Babinya 2 ekor, yang satu dinding bambunya agak rendah. Yang bikin aku horror, masa si babi berjuang untuk melompati dindingnya sambil ngak nguk ngak nguk ke arahku! Badan dan kakinya sudah separoh di luar kandang. Iiiish….. helloooooow….. seumur umur baru kali ini ada babi yang naksir.. L
Dengan kecepatan cahaya aku langsung masuk ke mobil dengan diiringi tawa ngakak si Etan Payo melihat caraku ngacir. Iiiih…. Nggak kebayang kalo si babi sempat lolos dari kandangnya trus melompat manja ke arahku…. Batal ah ke Tilanga kalo caranya gini.
Sambil muter mobil, ada anak-anak kecil yang lewat. Iseng aku nanya apa benar yang tadi jalan menuju Tilanga. Ternyata salah beibz. Masih harus jalan lurus lagi sampe di ujung aspal, katanya. Ok… let’s try. Supaya nggak salah langkah pake Mbak GoMap lagi. Dengan pede dia nyaranin untuk jalan lurus. Padahal tadi waktu salah jalan, dia juga yang nyuruh belok kanan. Setelah jalan 300 meter, kami disuruh belok kanan lagi.
Perasaanku mulai nggak enak. Karena baru masuk 50 meter, jalanan dipalang pake bambu. Mobil nggak bisa lewat. Tapi dengan pede kami turun dan ngelompati rintangan bambu itu. Semakin masuk ke dalam, sepertinya disitu kompleks perumahan. Tampak asri dah terawat dengan beberapa tongkonan yang berjejer. Pemandangannya bagus, tapi ada 3 ekor anjing yang ngikutin sambil menggonggong curiga.
Gonggongan anjing tadi membuat seorang ibu dengan wajah khas Toraja dan senyum ramah keluar dari dalam rumah yang pintunya terbuka sejak tadi. Dengan sedikit menahan tawa beliau menyuruh kami untuk kembali ke jalan utama dan terus berjalan lurus. Di akhir jalanan beraspal itulah lokasi pemandian alam Tilanga. Ooooooh…… berarti benar yang dikatakan anak-anak tadi.
Setelah mengucapkan terima kasih kami buru-buru kembali ke mobil. Karena 3 ekor anjing tadi terus ngikutin dengan mulut yang sepertinya siap untuk nancap di betis…
Mendekati mobil, ada satu mobil putih yang berhenti dan turun. Sepertinya rombongan. Aku langsung sok akrab bertanya apakah mereka mau ke Tilanga juga. Ternyata benar. Satu lagi korban salah arah Mbak GoMap. Aku tidak sanggup menahan tawa. Hari ini dua kali kami terkecoh oleh aplikasi Google Map.



Pintu masuk ke wisata Pemandian Tilanga

Jalan lagi, akhirnya tibalah di pintu masuk Tilanga. Ada tempat kecil untuk penjualan tiket. Per orang 10 ribu rupiah. Di pintu masuk banyak anak-anak kecil berkerumun dan menawarkan untuk membelikan telur rebus. Aku yang penasaran langsung bertanya untuk apa telur rebus itu. Ternyata untuk umpan kalo mau lihat belut yang besar. Supaya muncul dari persembunyiannya. Sayangnya sudah tidak ada penjual telur lagi sore itu.


Tiket masuk

Mitos belut bertelinga atau warga lokal menyebutnya massapi di Tilanga adalah salah satu kisah yang menjadi daya tarik sumber mata air ini. Konon bila bisa bertemu dengan massapi akan mendatangkan keberuntungan. Terlebih bila bertemu massapi yang belang-belang putih atau massapi bonga. Dan pemancing massapi untuk muncul dar persembunyiannya adalah dengan menggunakan telur rebus. Bahkan konon ada anak-anak yang bisa memanggil massapi hanya dengan menjentik-jentikkan jarinya di atas air.





Untuk sampai di kolam pemandian berbentuk telaga alam yang tidak terlalu besar itu, kita harus berjalan turun melalui tangga-tangga dan sedikit jalanan melingkar. Beda banget dengan ekspektasi sepanjang jalan. Kolamnya agak kotor dengan daun-daun yang berguguran, dasar kolamnya berwarna gelap kehijauan, dan kolamnya tidak terlalu besar. Ada beberapa pengunjung yang mandi-mandi disitu. Tapi aku melihatnya saja tidak berminat. Kebayang kalo ada anaconda dari dasar sungai. Dasar kolamnya nggak kelihatan sih…


Kolam Pemandian Tilanga

Yang lucu, anak-anak kecil itu menawarkan jasa atraksi mereka untuk lomba renang atau meloncat dari ketinggian pohon yang ada di tepi sungai. Bayarannya 5 ribu per orang. Agak geli juga waktu mereka merengek menawarkan atraksinya. Lincah juga bocah-bocah ini mencari penghasilan penambah uang jajan. 



So pilihan jatuh pada 2 anak lelaki yang paling ngeyel merengeknya. Ngeri juga melihat mereka memanjat pohon yang lumayan tinggi trus meloncat turun dalam kolam. Tapi mereka mah enjoy saja. Namanya juga anak-anak. Nggak mikir resiko dari apa yang mereka lakukan. Tinggallah emak-emak ini yang ikut teriak-teriak ngelarang mereka manjat lebih tinggi lagi. Hati-hati ya dek….





Next Pango Pango…

Toraja 3 : Romansa Mie Siram di Buntu Londa, Makale

17 Pebruari 2018

Sama seperti Ke’te Kesu, Buntu Londa atau Londa adalah kompleks kuburan batu pada sebuah gunung. Waktu masuk di area ini kami diberi tiket utk wisman seharga 30 ribu tapi berlaku untuk 2 orang. Karena aslinya sih cuma 15 ribu kalo wisatawan local. Berhubung tiket lokalnya habis, jadilah kami diberi tanda bukti bayar ala wisatawan mancanegara.
Setelah parkir mobil di area parkiran yang cukup teduh, saya berjalan masuk memasuki sebuah pintu gerbang melewati undakan-undakan tangga. Di pinggiran undakan berjejer lampu petromaks. Lampu-lampu ini disewakan seharga 15 ribu untuk masuk ke gua-gua di pekuburan tamu. Seorang teman yang pernah masuk kesana menceritakan bahwa jalan yang harus dilewati cukup sempit. Kita harus jongkok-jongkok segala dibeberapa titik. Sudahlah…. Saya lihat-lihat bagian luar saja. Males masuk-masuk ke dalam. Yang asyik disini areanya bisa dipakai untuk olahraga. Jalannya naik turun dan lumayan jauh. Ditambah lagi deretan pohon kopi yang sedang berbunga dan cuaca yang sejuk, asyik banget dipakai jalan santai setiap hari. Di tiket masuk juga tertera untuk rekreasi dan tempat olahraga. Cucok deh.
Setelah jalan keliling di area kuburan batu dengan nafas yang terputus-putus karena capek, baru berasa kalo kelaparan. Secara tadi waktu mau jalan cuma sarapan kopi dan pisang goreng. Keliling-keliling di parkiran nyari tempat makan, yang ada cuma kios-kios kecil menjual mie siram. Yo wes lah. Rasa lapar ini lebih menyiksa. Nggak sanggup harus jalan lagi dan nyari makan di luar. Jadilah kami makan indomai ples kacang goreng disitu. Saya lumayan kalap lihat sambel. Ternyata pedisnya minta ampun. Perpaduan yang komplit. Capek, lapar, kepedesan, dan hidung yang mencair…. 
Tapi kalo sama kamu apapun terasa romantis..... jiaaaaah....

Next wisata pemandian alam Tilanga…

Minggu, 25 Februari 2018

Toraja 2 : Kopi Robusta Toraja dan Ke'te Kesu

17 Pebruari 2018

Pagi-pagi bangun langsung mandi. Matahari pagi pertama di Toraja. Hari ini full schedule untuk jalan-jalan di Makale. Selesai mandi trus nanya-nanya ke mbak resepsionis, objek wisata apa yang paling dekat dari hotel. Mbaknya menyarankan ke Ke’te Kesu saja, trus lanjut ke Buntu Londa. Jalurnya searah jadi nggak ribet bolak balik. Ok deh kalo gitu. Kemas barang langsung check out. Kami tidak sarapan di hotel. Pengen nyari makanan di luar saja sambil jalan menuju Ke’te Kesu.
Berkendara sekitar 15 menit, kami ketemu satu kafe kecil di pinggir jalan. Namanya Kafe Restkimb. Singgah dulu untuk ngopi dan makan pisang goreng. Setelah hampir 5 bulan nggak ngopi, pagi itu saya mendadak jadi pengen ngopi. Suasananya asyik banget untuk ngopi. Dari dalam kafe dengan dekorasi Toraja yang kental itu, kita bisa melihat view persawahan di sampingnya. Kebayang kan indahnya. Serasa ngopi di tengah sawah. Saya mesan satu kopi Toraja Robusta hitam tanpa gula. Rasanya nikmat banget. Ternyata saya belom lupa gimana rasanya kopi yang enak walau sudah lima bulan stop ngopi.




View sawah dari dalam kafe

Sebenarnya saya dah ngurangin jatah ngopi jadi sehari hanya sekali. Sebelumnya saya sanggup ngabisin 3 sampe 5 gelas sehari. Tapi belakangan saya merasa emosi jadi memburuk. Saya mudah marah dan tertekan. Mungkin saja karena suasana kantor yang kurang nyaman, tapi kopi yang jadi kambing hitam. Ditambah lagi beberapa hari kemudian jari-jari saya mulai bergetar tanpa saya mampu untuk menghentikan. No no no….. saya langsung berhenti ngopi. Dan Alhamdulillah I feel better. Jari yang bergetar tidak muncul lagi, emosi juga relatif lebih stabil dan terkontrol. Lebih bersyukur lagi saat berhenti ngopi saya tidak mengalami gejala coffee addicted seperti sakit kepala yang berlebihan dan keinginan ingin marah-marah seperi perempuan menjelang haid. Semua wajar-wajar saja.




Saya menyeruput kopi yang masih mengepul panas itu pelan-pelan. Menikmati setiap tetes kafein yang menghangatkan tubuh dan memberikan semangat baru pada pagi itu. Perasaan bahagia menjalar ke seluruh sendi. Perasaan penuh cinta yang selama ini tersimpan rapat jauh di lubuk hati. Semua hadir kembali. Kopiku telah berubah makna. Dari catatan panjang perjalanan penuh lara, menjadi catatan baru penuh cinta.
Saya menyeruput perlahan lagi sambil menikmati harum aroma kopi yang masih baru, trus mengunyah potongan pisang goreng yang tidak kalah panasnya (baru digoreng saat kami pesan). Pisang goreng kemudian saya potong kecil-kecil supaya cepat dingin dan lebih mudah makannya.
Bapak pemilik kafe yang orang Toraja asli sangat ramah pada kami. Sambil ngobrol santai kami bertanya tempat-tempat wisata apa lagi yang bisa kami kunjungi setelah dari Ke’te Kesu. Rekomendasinya tetap Londa karena jaraknya paling dekat. Setelah itu ke pemandian alam Tilanga. Cukup 3 destinasi saja karena sore kami harus jalan lagi ke Pango Pango. Kami harus jalan sore supaya tidak tiba kemalaman disana.

Si Bapak owners Kafe Reskimb

Setelah kopi habis, kami pamit pada si Bapak owner kafe bersama istrinya yang ramah itu untuk lanjut ke Ke’te Kesu. Oiya…. Toilet di Kafe Restkimb ini sangat bersih dengan air yang terasa dingin dan segar. Trus di depannya ada pohon kersen dengan beberapa buahnya yang masak kemerahan. Saya sempat metik satu sambil melompat tinggi karena dahan-dahannya lumayan tak terjangkau. Jadi ingat masa kecil saat sering berburu kersen, si buah ceri kampung itu, saat masih tinggal di Merauke.
Lanjut nih, berkendara 15 menit kami sudah tiba di pintu masuk Ke’te Kesu. Beli tiket masuk 15 ribu rupiah untuk wisatawan local. Pertama masuk saya ketemu lagi satu coffee shop. Namanya Toraja Red Beans Coffee Shop. Yang bikin saya terpesona karena ada kain Sekomandi dijual disitu. Kain Sekomandi adalah kain tenun khas dari Kecamatan Kalumpang Kabupaten Mamuju. Kalumpang, Toraja dan Mamasa sebenarnya masih serumpun. Jadi banyak kemiripan dari segi kain tenunannya. Tapi masing-masing punya ciri khas dan makna yang berbeda.

Tiket masuk lokasi wisata Ke'te Kesu di Makale Toraja


Toraja Red Beans Coffee Shop

Saya memang sering mendengar bahwa di Toraja, Mamasa dan Polewali Mandar kain Sekomandi banyak dijual dan dipakaikan identitas sebagai produk local sana. Kasihan juga sih. Karena Pemerintah Kabupaten Mamuju belum terlalu mesra menyapa dan membantu mempromosikan secara serius kain Sekomandi. Beberapa pengrajin yang saya temui saat pelaksanaan ekspo memang sering mengeluhkan sulitnya pemasaran. Akibatnya banyak yang berhenti produksi karena barang menumpuk tanpa pembeli. Satu selendang Sekomandi yang dipajang itu dijual seharga 250 ribu rupiah. Harganya sama dengan harga di tanah leluhurnya Kalumpang.


Deretan kain tenun Sekomandi
Warna asli kain tenun Sekomandi menggunakan bahan tradisional berupa cabe/lombok dan tanah liat untuk menghasilkan warna merah. Kain yang asli akan terasa panas bila disentuh karena pengaruh lombok yang digunakan sebagai campuran warna. tapi saat ini pewartna sintetis mulai banyak digunakan.


Sekomandi

Sambil masih prihatin dengan nasib kain Sekomandi, saya berjalan masuk mengagumi deretan tongkonan yang megah dan indah. Di bagian depan selalu ada deretan tanduk kerbau. Tanduk-tanduk itu adalah symbol berapa ekor tedong bonga atau kerbau belang albino yang sudah dipotong pada perayaan pesta penguburan untuk anggota keluarga pemilik tongkonan yang sudah meninggal. Semakin banyak tanduk kerbau yang dipasang, semakin tinggi status social keluarga pemilik tongkonan. Rumah tongkonan di kawasan ini didirikan oleh Puang Ri Kesu dan diwariskan secara turun temurun pada anak cucunya. Kompleks tongkonan ini menjadi cagar budaya dan sering juga dipakai untuk pelaksanaan Rambu Solo.


Deretan tongkonan yang mempesonaaaa.....

Motif ukiran tongkonan dan dominasi warna merah, putih, kuning dan hitam selalu membuat saya terpesona dan menatap lama. Merah melambangkan darah, putih melambangkan tulang manusia, kuning melambangkan kemuliaan dan reliji, dan hitam melambangkan duka dan kematian. Masing-masing motif juga memiliki makna dan filosofi yang berbeda. Apapun itu bagi saya yang nggak terlalu paham, ukiran dan motifnya tetap terlihat indah,
Tongkonan sendiri ada 2 macam. Tongkonan yang difungsikan sebagai rumah dan tempat menyimpan jenazah yang diawetkan untuk menunggu pelaksanaan Rambu Solo atau pesta kematian, dan tongkonan yang difungsikan sebagai lumbung padi.
Saya ingat beberapa tahun lalu waktu ke Toraja bersama teman-teman untuk memberikan penyuluhan HIV/AIDS untuk anak-anak SMA se-Rantepao, saya berkunjung ke rumah tongkonan teman ekspatriat yang menjadi dosen di Toraja. Tongkonan dengan atap bambu yang sudah tua dan ditumbuhi tanaman liar itu nampak modern di bagian dalam. Ada tempat tidur, wastafel, televise kecil, dan tumpukan buku-buku tebal. Keren. Sampai sekarang masih sering berkhayal punya rumah tongkonan sendiri.
Lepas dari deretan tongkonan yang berjejer behadap-hadapan, saya berjalan kaki masuk di antara deretan kios-kios penjual souvenir. Ada kaos, tas berbahan kain printing bermotif toraja, magnet kulkas, gelang, patung-patung, bahkan daster yang banyak dijual di pasar Klewer Solo juga ada disini.


Souvenir patung dan tempat tissue.



Baju perang ksatria Toraja. Tadinya pengen nyoba,
tapi gitu lihat salah satu asesoriesnya adalah gingsul babi, nggak jadi deh....

Jejeran penjual souvenir.


Oleh-oleh tas. Modelnya mirip-mirip kalo beli oleh-oleh di Bali.


Di area yang lebih ke dalam lagi, ada beberapa tongkonan yang digunakan untuk menyimpan jenazah. Ada satu yang berwarna merah dan kuning mencolok yang menarik perhatian saya. Konon motif dengan warna merah dan kuning itu adalah symbol dari matahari. Dari foto yang dipasang disitu ada 8 jenazah yang disemayamkan.




Naik lagi melewati anak-anak tangga yang lumayan banyak. Disini adalah kuburan  batu. Peti-peti jenazah di gantung berjejer di atas gunung batu dan ditahan dengan menggunakan balok-balok. Bila peti dan balok-balok mulai rapuh karena cuaca, jenazah yang tingga tulang belulang itu berjatuhan ke bawah dan bercampur dengan tulang belulang yang sudah jatuh duluan. Di sudut tampak onggokan tulang yang sudah campur baur. Entah tulang mana berpasangan dengan siapa. Anehnya pemandangan itu tidak membuat saya ngeri. Biasa saja. Beda kali ya kalo lihat tengkorak di dalam kamar……
Jaman kuliah dulu, seorang teman cowok pernah mencuri tengkorak kepala dari sini. Dibawa jauh-jauh cuma untuk dijadikan pajangan di meja belajarnya. Saya ngeri sekali waktu saat main ke asramanya. Tatapan kosong dari lubang mata seolah menyampaikan kutukan. Kita kan tidak pernah tahu rahasia di alam semesta. Saya sering menakut-nakuti dia dengan cerita tentang kutukan dari arwah yang tidak rela tengkorak kepalanya dipindahkan jauh dari kampung halaman. Teman saya cuma tertawa. Dan beberapa perjalanan hidupnya banyak melenceng dari tujuan awal, termasuk kuliahnya yang tidak selesai. Beberapa tahun kemudian saya bertemu lagi dengan teman yang itu. Tapi saya tidak berani mengingatkan dan menghubungkan dengan kutukan arwah pemilik tengkorak kepala. Kita hanya perlu respek pada sang pemilik. Walau kematian telah menjemput, tapi pada masanya mereka adalah makhluk hidup juga yang berjalan di muka bumi.
Balik lagi ke kuburan batu, ada juga jenazah yang disimpan di dalam gua-gua buatan. Cuma saya tidak masuk sampai ke bagian dalam. Cukup lihat-lihat dari luar saja. Lumayan melelahkan jalan sampai ke bagian atas kuburan batu untuk emak-emak kayak saya. Penyebabnya karena sudah agak lama nggak pernah lari pagi lagi. Stamina agak drop. Tapi lumayan lah, anggap saja olahraga.
Puas lihat-lihat dan foto-fotoan di kuburan batu dan tongkonan, kami sempat-sempatin foto lagi di pintu keluar dengan view sawah dan tongkonan di kejauhan. Aduuuuh….. yang kayak gini nih yang bikin saya makin jatuh cinta sama Toraja. Semua terasa indah. 

Next Buntu Londa....

Sabtu, 24 Februari 2018

Toraja 1 : Imlek on the Way, Go to Toraja

16 Pebruari 2018
Beberapa tahun yang silam, saya jatuh cinta pada Toraja. Pada alamnya, pada hamparan hijau sawahnya, pada deretan tongkonan di setiap sudut jalanan kemanapun kita melangkah, asli bener-bener falling in love at first sight. Sama seperti saat saya jatuh cinta pada Bali dan Ubud.
Beda dengan Bali yang bagi sebagian orang sudah terlalu mainstream untuk liburan ke sana, kalo saya mah tetep cinta Bali forever, Toraja selalu menghadirkan debar-debar yang berbeda tiap kali saya datang kesana. Apalagi kunjungan kali ini adalah kunjungan pertama setelah tahun-tahun yang cukup panjang. Setelah beberapa kali perjalanan tertunda karena berbagai alasan dan kesibukan. Finally I go back to Toraja.
Makassar – Toraja saya tempuh dengan jalan darat sekitar 12 jam. Naek mobil maksudnya….. Jalannya santai nggak pake ngebut. Sambil dengerin music n ikutan nyanyi kalo pas lagunya hafal. Karena hujan nemenin sepanjang jalan dari Makassar Maros sampe Barru. Trus singgah sholat Jumat di Pare Pare. Singgah makan juga. Jadi alon-alon asal kelakon wae lah…
Perjalanan darat sangat recommended kalo kamu punya sedikit jiwa petualang, suka tantangan dan suka jalan kayak saya.
Melewati beberapa Kabupaten. Maros, Pangkep, Barru, Pare-pare, Sidrap, Enrekang dan Toraja. Masing-masing Kabupaten punya pemandangan asyik yang bikin gregetan pengen singgah. Kalo nggak mikir bahwa kami nggak boleh kemalaman sampe di Toraja, saya pasti dah merengek manja pengen singgah-singgah dan of course foto2an di tiap tempat ketjeh yang kami lewati. So, perginya cuma cuci mata tanpa foto2an. Tapi dah niat balas dendam kalo perjalanan pulang kelak.
Saya yang suka bobo’ manja tiap kali mobil mulai jalan dan dinginnya AC menyapa, kali ini harus tetap buka mata sepanjang jalan. Pertama, nggak mau kehilangan momen view indah sepanjang jalan. Kedua, driver yang pengalaman antar kota antar provinsi itu sudah ngancam dan nyiapin air mineral satu botol di sebelahnya, yang bakal dipakai untuk mercikin muka banyak2 kalo saya berani tidur sepanjang jalan. #kejaaaaam….
Nih ada sedikit catatan kecil yang recommended kalo pengen lewat untuk singgah, foto2an dan nyobain jajanan disitu.

Maros
Lewat Maros Cuma say hellow saja. Letaknya yang bersebelahan dengan Makassar dan sering dilewati saat mau balik kampung halaman di Mamuju lewat Bandar udara Sultan Hasanuddin tidak membuat saya terlalu excited. Tapi sebelum masuk kota Maros, disebelah kiri jalan berjejer penjual Roti Maros atau ROMA nama kerennya, yang lumayan lejen untuk oleh-oleh. Yang dijual adalah roti sobek dan roti kaya (rosi isi selai) juga jalangkote atau pastel kalo kata kita di Jawa. Rasanya sih biasa saja kalo menurut saya. Harganya lumayan murah meriah. Kalo penasaran boleh nyoba. Roti Maros ini selalu menjadi tempat persinggahan bus-bus antar kota antar provinsi. Untuk beli oleh-oleh atau cuma numpang pipis saja.

Pangkep
Masuk wilayah Pangkep boleh nyobain dange, jajanan tradisional khas Pangkep. Warung-warung penjualnya berjejer di sebelah kiri jalan dari arah Makassar.  Dange terbuat dari tepung ketan hitam, parutan kelapa dan gula merah. Dengan varian campuran gula merah, coklat, keju. Cara buatnya seperti kue pukis atau buroncong. Dan supaya tetep anget dimasukin ke rice cooker yang sengaja dipajang disitu. Kalo saya suka yang original pake gula merah. Harganya juga tidak mahal. Satu doz isi selusin cuma 10 ribuan.
Selain dange, Pangkep juga terkenal dengan sop sodara, ikan bolu (bandeng) dan udang.

Barru
Barru ini Kabupaten yang lumayan panjang. Masuk Barru berjejer penjual jeruk bali, semangka, melon, ub jalar dan tomat. Beberapa tergantung musimnya. Waktu saya lewat yang banyak dijual cuma jeruk bali. Varian jeruk balinya ada dua, Jeruk Bencong dan Jeruk Gula-Gula. Tulisannya terpampang besar2 di tiap rumah2an sederhana di pinggir jalan. Kalo yang gula-gula dah bisa diduga pasti manis2 gitu. Kalo yang bencong? Entahlah….
Kedua, setelah penjual buah-buahan, sebelum kota Barru ada lagi penjual ikan asin dengan ukuran yang besar-besar dan dijual setelah lewat jembatan di pinggir jalan. Waktu berangkat saya nggak merhatiin. Baliknya ketemu lagi tapi sudah kemalaman jadi nggak sempat singgah foto2an. Next time saja ya…
Yang ketiga, sebelah kiri jalan berjejer penjual jagung rebus dan jagung bakar. Biasanya yang dijual adalah jagung pulut, bukan jagung manis seperti di Puncak Bogor.
Keempat, menjelang masuk Pare Pare, sebelah kanan jalan berjejer kios-kios kecil yang menjual gogos bakar. Gogos ini ketan yang dibungkus daun pisang trus dibakar lagi supaya hangat dan memunculkan rasa dan aroma yang khas. Variannya ada 2, gogos kambu dan gogos lotong. Gogos kambu itu gogos ketan putih yang diisi suwiran ikan yang sudah dibumbui dan agak pedas. Kalo gogos lotong adalah gogos ketan hitam yang tidak ada isinya. Untuk teman makan gogos ini pasangannya adalah telor asin dan sambel tumis. Rasanya? Enaklah. Saya suka yang gogos kambu dan telor asin.


Ibuibu penjual gogos di Barru

Gogos panas dan telor asin

Gogos kambu, telor asin dan sambal tumis


Pare Pare
Pare pare ini kota pelabuhan dan persimpangan antara yang belok kanan mau lanjut ke Toraja atau terus menyusur pantai ke arah Sulawesi Barat tanah air beta. Pare pare biasa saja. Bukan tempat asyik untuk jalan-jalan. Palingan kalo malam ada pasar senggol di kota dekat pantai yang banyak menjual Cakar atau pakaian bekas impor dari Malaysia. Perputaran cakar ini lumayan besar. Cuma belakangan agak kurang karena semakin susah membawa masuk pakaian yang dijual per karung ini ke wilayah Indonesia. Cakar memang illegal. Dimasukkan dengan cara ngumpet-ngumpet alias diselundupkan. Tapi tetap saja berjaya dan aparat tutup mata.
Walau judulnya pakaian bekas, tapi kalo pinter milih masih banyak yang bagus-bagus. Bahkan ada pakaian reject yang masih lengkap dengan label brandnya yang melekat. Selain pakaian dewasa, anak-anak dan balita, ada juga gorden, seprai, handuk, selimut, jaket, tas branded dan sepatu-sepatu branded. Harganya bervariasi. Harus pinter-pinter nawar dan sok pasang muka gak butuh supaya dapat harga miring semiring-miringnya.
Trip kali ini cuma numpang lewat saja di Pare Pare.

Sidrap
Sidrap ini termasuk lumbung padi terbesar di Sulsel. Sepanjang jalan warbyazah hamparan sawah yang meghijau. Agak nyesel juga gak foto2 atau minimal buat video pake hape andalan sayah. Viewnya keren bangeeeeeet….. serasa berada di negara yang berbeda. Agak berlebihan kali ya…
Untuk yang sering lewat Sidrap mungkin berasa biasa saja, tapi untuk saya yang baru sekali jalan siang tentu saja jadi pengalaman pertama yang menyenangkan.
Di Sidrap ini saya pengen makan cuwiwi atau burung belibis goreng dan bebek palekko. Bebek palekko itu bebek yang dipotong kecil2 trus dimasak dengan bumbu sederhana, bawang merah, asam jawa, kunyit, lombok dan kecap. cita rasanya pedes seger gitu. Cuwiwi dan bebek palekko ini sangat ngetop di Sidrap. Tapi sampe tiba di persimpangan yang membagi jalan menuju Pinrang atau Enrekang, nggak ketemu juga tempat jualannya. Mungkin laen kali harusnya tanya-tanya dulu ya…

Enrekang
Enrekang ini Kabupaten terakhir sebelum masuk kota Toraja. Medannya agak seksi, berliku-liku. Jebakan betmen untuk yang mudah mabok darat kalo naek mobil. Cuaca lumayan sejuk. Dibeberapa tempat yang agak tinggi malah lumayan dingin. Enrekang terkenal karena hasil buminya yang berlimpah. Sayur-sayuran dan bawang merah. Ada juga Dangke, fermentasi susu kerbau dengan menggunakan getah papaya. Warnanya putih dengan teksturnya lembut seperti tahu. Di masak dengan cara digoreng atau dibakar. Rasanya gurih dengan aroma susu atau keju yang khas.
Selain dangke, ada kue tradisional deppa tori yang banyak juga di Toraja. Deppa tori ini terbuat dari beras ketan, gula merah, dan digoreng dengan taburan wijen. Rasanya gurih2 manis gitu. Biasa dijual di pusat oleh-oleh pinggir jalan.
Kami singgah makan di Enrekang. Di sebuah warung kecil sebelah kanan jalan kalo dari arah Makassar. Sebelah kirinya tersedia tempat untuk foto-fotoan dengan tarif 2 ribu per orang. Viewnya deretan pegunungang Buntu Kabobong yang modelnya eksotis mirip V wanita (maap). Yang rekomendid disini ikan nila gorengnya. Ikan segar dengan cara goreng yang pas. Sayurnya boleh milih sup atau sayur bening ples sambel. Saya nggak foto-fotoan kali ini. Nggak mut. Kalo lagi nggak mut gini biasanya aura kecantikan kurang terpancar. Ntar aja deh kalo perjalanan pulang singgah lagi disini.
Dan…. Setelah Enrekang marilah kita memasuki kota Toraja. Pertama ketemu Rantepao, Toraja Utara. Berhubung sudah malam, agak bingung juga muter2 disini nyari tempat nginap. Awalnya sih dilema antara mo nginap di Lolai atau Pango Pango. Dua destinasi ini menawarkan view awan yang ketjeh badai di pagi hari. Yang ngehits memang Lolai. Cuma…. Kalo di Lolai kudu nginap di tenda. Bisa nyewa atau bawa sendiri. Kalo di Pango Pango konon ada rumah-rumah yang bisa di sewa. Tapi kontek persen yang kami dapat dari hasil browsing di Google datanya nggak akurat. Nomer tidak bisa dihubungi.
Setelah nimbang-nimbang dengan kondisi jalan yang belom jelas dan hari semakin malam, akhirnya kami memutuskan untuk lanjut jalan ke Makale dan nginap disana saja. Besok jalan-jalannya mulai dari Makale. Ntar selesai di Makale baru menjelajah Rantepao. Dah gitu aja.
Berikut beberapa destinasi wisata yang bisa dikunjungi di Rantepao dan Makale ala saya :

Rantepao
1.   Lolai, Negeri di Awan
2.   Pango Pango, Negeri di awan dan agrowisata
3.   Baby Grave

Makale
1.   Ke’te Kesu, tongkonan dan kuburan tradisional Toraja
2.   Londa, idem kayak Ke’te Kesu
3.   Wisata Pemandian Tilanga
4.   Batutumonga  

Seperti biasa, Google dan Google map jadi andalan. Setelah nyari2, muter2 ples nanya2, singgah belanja dan numpang pipis di Alfamart, dapat juga info 2 hotel kecil untuk persiapan nginap. Hotel Pison dan hotel Pias Poppies yang berhadapan. Agak masuk dikit dari jalan utama. Ternyata alamatnya masih masuk wilayah Rantepao. Kebanyakan bule-bule wisman yang nginap sini. Kami kan wisman juga, jadi hayuklah nginap sini. Setelah nelpon-nelpon, jadi nih kami nginap di Hotel Pison. Hamper saja nggak dapat kamar. Karena long wiken saat libur Imlek gini tingkat hunian Toraja lagi tinggi.

Alamat Hotel Pison yang berhadapan dengan Hotel Pias Poppies :
Jl. Pongtiku GII No.8 Karassik, Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, Sulsel. Telp. (0423) 21344

Price :
Standar Rp.250.000 (nggak pake tv dan AC). Deluxe Rp.350.000 (ada TV dan AC). Semuanya no breakfast, tapi ada resto tempat kita bisa order makanan.

Kalo mo backpackeran bisa juga nyari homestay yang harganya kisaran 150 sampe 200an juga. Atau ambil saja kamar yang standar meski non AC dan TV. Karena cuaca Toraja kalo malam lumayan dingin. Tidak pake AC nggak masalah. Kecuali kalo family trip dan bawa anak-anak yang suka rewel kalo nggak ada AC, ya harus ngambil kamar yang pake AC.
Day 1 di Toraja dipake untuk istirahat saja. Capek perjalanan jauh dan besok harus super enerji untuk jalan-jalan. Jangan lupa minum vitamin sebelum tidur supaya bangun pagi dengan kondisi sehat, segar, ceria dan awet muda (ini mah dambaan sayyah setiap bangun pagi….)
Good night Toraja. Good night love. Kiss n big hug. See you tomorrow morning.

(BERSAMBUNG YAAAA…..)

RACUN

4 Mei 2023 Pagi tadi ngobrol dengan seorang teman yang berkunjung di ruangan. Tentang perempuan, hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. Ka...